EHIME, KOMPAS.com - Jika Anda menggunakan rice cooker alias mesin penanak nasi, Anda harus berterima kasih kepada Yoshitada dan Fumiko Minami.
Cerita ini bermula pada 1955 di Ehime, yang terletak di Pulau Shikoku, Jepang.
Setelah Perang Dunia II berakhir dan pasukan Amerika Serikat mundur, pengusaha Yoshitada Minami mengalami kesulitan menjual pemanas airnya. Bisnisnya mulai lesu. Namun, dia punya sejumlah teman dari kalangan atas.
Baca juga: Qatar Airways Borong 160 Pesawat Boeing Saat Kunjungan Trump, Terbesar dalam Sejarah
"Ia memohon kepada Matsumoto, yang merupakan kepala pengembangan peralatan listrik rumah tangga Toshiba, untuk mengizinkannya membuat produk apa pun. Matsumoto merasa terganggu dengan desakan ayah saya."
"Jadi, ia mengatakan kepada ayah saya bahwa ada wacana untuk membuat mesin penanak nasi. 'Coba deh membuatnya menjadi produk'," papar putra bungsu Yoshitada, Aiji Minami, memaparkan ulang kisah pertemuan ayahnya dengan petinggi Toshiba.
Matsumoto tidak mengira Yoshitada akan benar-benar membuat mesin penanak nasi. Dia hanya memberikan proyek itu kepada Yoshitada supaya tetap sibuk dan tidak mengganggunya lagi.
"Perempuan Jepang, termasuk ibu saya, dulu menggunakan penanak nasi, yang disebut hagama. Awalnya, penanak nasi menggunakan kayu bakar. Kemudian, penanak nasi menggunakan bahan bakar gas."
"Saya pikir menanak nasi adalah pekerjaan yang sangat berat, dan mereka harus mengulanginya tiga kali sehari," kata Aiji Minami.
Yoshitada tidak tahu harus mulai dari mana saat memasak nasi. Jadi, ia meminta bantuan istrinya.
"Nama ibu saya adalah Fumiko Minami. Keluarganya adalah kelas ksatria yang cukup tinggi. Kakek saya adalah seorang pria desa, dan dialah yang membuat keluarganya sangat dihormati."
"Jadi, kakek saya datang ke Tokyo bersama ibu saya. Kemudian ibu saya bekerja di sebuah restoran besar di Omori. Suatu kali ayah saya bertemu dengannya di sana dan jatuh cinta padanya. Tak lama kemudian mereka menikah dan anak-anak pun lahir untuk melengkapi rumah tangga mereka yang sudah sangat sibuk."
"Ada banyak karyawan perusahaan yang tinggal di rumah saya sehingga ibu saya sibuk sekali," kenang Aiji.
"Dia pergi ke berbagai tempat untuk menunjukkan penampilannya. Dia sering membawa anak-anaknya ke sana dan berkata kepada kami, 'kalian duduk di barisan depan dan saksikan saya'. Dia juga sering berlatih menyanyi di rumah. Jadi, sementara dia sibuk menghibur, semua kerja keras diserahkan kepada ibu saya," papar Aiji.