Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iga Diaska Pradipta
Tentara Nasional Indonesia

Analis Pertahanan, Geopolitik, dan Hubungan Internasional

Belajar dari Baku Tembak Militer di Perbatasan Kamboja-Thailand

Kompas.com - 08/07/2025, 11:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA Rabu, 28 Mei 2025, terjadi kontak tembak antara militer Kamboja dengan Thailand di perbatasan darat kedua negara yang masih dipersengketakan.

Hal ini menjadi ironi karena belum genap 24 jam, para menteri luar negeri negara ASEAN baru saja mengadakan pertemuan ASEAN Coordination Council (ACC) yang ke-36 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Lantas, mengapa kedua negara, yang sama-sama menjadi anggota dari ASEAN, militernya dapat baku tembak?

Perbatasan wilayah negara merupakan persoalan kedaulatan yang menyangkut integritas dan harga diri suatu bangsa. Batas negara sifatnya non-negotiable, tidak dapat ditawar dan diganggu gugat.

Dalam konteks adanya klaim tumpang tindih terkait batas wilayah perbatasan darat, maka risiko terjadinya kesalahpahaman antarkedua belah pihak yang menjaga perbatasan menjadi sangat tinggi.

Terlebih, dalam sejarah konflik perbatasan kedua negara, pernah terjadi eskalasi yang mengakibatkan 28 korban tewas dalam ketegangan yang berlangsung selama beberapa tahun.

Hal ini mengakibatkan tingginya rasa saling curiga dan tidak percaya terhadap militer negara tetangga.

Baca juga: BRICS dan Kematian Imajinasi Politik Global

 

Aparat penjaga perbatasan pun, khususnya dalam wilayah sengketa, akan selalu dalam kondisi siaga (dipersenjatai secara lengkap untuk siap digerakkan) terhadap kemungkinan adanya intrusi pihak asing.

Dalam pandangan Kautilya – filsuf klasik India – melalui karyanya Arthasastra, ia mengemukakan Teori Mandala di mana ia menggambarkan lanskap geopolitik bernegara dalam bentuk lingkaran berlapis yang tiap lapisannya menggambarkan kecenderungan kawan dan lawan.

Gambaran metafora tersebut menggunakan pendekatan lokasi geografis suatu negara dan menempatkan negara tetangga, secara natural, merupakan potensial lawan bagi suatu negara. Sedangkan negara tetangga merupakan potensial kawan bagi suatu negara.

Berdasarkan perspektif tersebut, maka sebenarnya ”wajar” jika terjadi konflik antarnegara yang bertetangga.

Hal ini pun diamini oleh studi kasus tentang perang, di mana mayoritas konflik antarnegara yang terjadi di dunia merupakan konflik antartetangga. Misal Rusia-Ukraina, India-Pakistan, Irak-Iran, Korea Utara-Korea Selatan, China-Mongolia, Jerman-Prusia, dan masih banyak lainnya.

Pun, telah banyak contoh sabotase batas wilayah, baik yang dilakukan oleh militer maupun entitas pihak ketiga seperti perusahaan militer swasta (private military company).

Penggunaan entitas pihak ketiga merupakan cara negara untuk mencegah dan menyangkal tuduhan keterlibatan sehingga terlepas dari beban tanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan.

Sebagai contoh terkini merupakan Grup Wagner yang digunakan oleh Rusia dalam berbagai operasi militer di luar negeri. Grup tersebut mewakili kepentingan Rusia, tapi bukan secara resmi badan militer dari Negara Rusia.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau