Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebangkitan Bahasa Ainu, Milik Penduduk Asli yang Pernah Dihilangkan Jepang

Kompas.com - 05/08/2025, 17:16 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

David Ifeoluwa Adelani, dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas McGill di Kanada, berkata bahwa para peneliti Ainu perlu membangun kepercayaan dan transparansi dengan komunitas.

"Dalam beberapa kasus revitalisasi bahasa, ada aspek, 'Anda datang dan mengumpulkan data, lalu menjualnya kembali kepada kami'," kata Adelani.

"Para peneliti perlu mendapatkan persetujuan dan kemudian menyepakati bagaimana data tersebut akan digunakan," tuturnya.

Menurut David, cara itu sangat sensitif bagi para keturunan Ainu karena, selama bertahun-tahun, budaya Ainu telah dikomersialkan dan diapropriasi untuk keuntungan di Jepang baik melalui pariwisata, media, dan perdagangan.

Baca juga: Kapal Perang Jepang Era PD II Ditemukan di Dasar Laut Dekat Australia

Ancaman eksploitasi lebih lanjut merupakan ancaman nyata bagi orang Ainu, yang tanahnya dikuasai otoritas Jepang. Dilarang menangkap ikan dan berburu selama berabad-abad, banyak orang Ainu terpaksa mencari nafkah melalui pertanian dan pekerjaan kasar.

Tidak ada statistik resmi mengenai jumlah orang Ainu yang masih tinggal di Jepang saat ini. Sebuah survei 2023 yang dikerjakan Pemerintah Prefektur Hokkaido menemukan bahwa 29 persen orang Ainu telah mengalami diskriminasi, meningkat 6 persen dari jajak pendapat sebelumnya pada 2017.

Laporan media massa lokal juga menunjukkan, orang Ainu memiliki penghasilan lebih rendah daripada rata-rata nasional dan juga lebih mungkin mengalami pekerjaan yang tidak stabil.

David Adelani berkata, lebih etis untuk melatih anggota komunitas tentang cara menggunakan perangkat AI untuk merevitalisasi bahasa mereka, daripada para periset turun tangan dan mengumpulkan data.

"Kami mempelajari bahasa dengan sumber daya yang sangat rendah dengan penutur asli di Kamerun karena mereka ingin mempelajarinya. Itulah mengapa penting untuk melatih anggota komunitas. Jika Anda mengajari mereka, mereka dapat memprioritaskannya," ujarnya.

Meskipun beberapa keturunan Ainu menyambut baik minat pemerintah dalam pelestarian budaya asli, para kritikus menilai Jepang belum mengatasi ketidakadilan historis dan memberikan hak-hak fundamental.

Baca juga: Tsunami Jepang, KBRI Tokyo Imbau WNI di Pesisir Ikut Evakuasi

Beberapa pihak berpendapat bahwa Museum Nasional Ainu Upopoy merupakan kelanjutan lain dari kebijakan asimilasi Jepang. Museum ini menyimpan tulang-belulang manusia Ainu yang ingin diambil kembali oleh masyarakat Ainu.

"Upopoy tampak seperti contoh lain bagaimana Jepang menggunakan kekuasaan mereka atas Ainu," ujar aktivis Ainu, Shikada Kawami.

"Saya tidak tahu berapa banyak Ainu yang menyadari sejauh mana mereka masih dieksploitasi," ujarnya.

Menurut Kawahara, Museum Nasional Ainu memegang hak cipta atas data asli yang digunakan untuk mengembangkan sistem tersebut, dengan persetujuan dari keluarga para penutur.

Laboratorium tersebut memiliki hak atas sistem AI itu sendiri.  "Namun, sistem ini tidak akan berfungsi tanpa data," ujarnya.

Di masa mendatang, verifikasi kinerja AI akan sulit dilakukan mengingat minimnya penutur Ainu, kata Sara Hooker, kepala Cohere for AI, sebuah lembaga nirlaba yang bertindak sebagai divisi riset untuk perusahaan teknologi Cohere.

"Ketika kami memikirkan sistem multibahasa dan jangkauan global, yang penting bukan hanya memastikan bahasa-bahasa tersebut tercakup, tapi memastikan nuansa dan cara orang menggunakan model-model ini setiap hari cukup kaya untuk melayani masyarakat," tuturnya.

Baca juga: Punya Dagu Panjang dan Runcing, YouTuber Jepang Ini Jadi Terkenal

 

Walau begitu, kecerdasan buatan untuk pengenalan dan pembangkitan suara telah berkembang pesat, kata Francis Tyers, penasihat linguistik komputasional di Common Voice. Saat ini, para pengembang merilis sistem AI yang mencakup ratusan bahasa, sesuatu yang mustahil lima tahun yang lalu.

"Dalam dunia yang ideal, teknologi bahasa dibuat oleh penutur, untuk penutur," kata Tyers.

Dia mencontohkan Spanyol, negara dengan banyak sistem penerjemahan mesin yang menargetkan bahasa-bahasa yang kurang terlayani seperti Katalan atau Basque dipelopori oleh anggota komunitas tersebut sendiri.

Dalam kasus lain, ketika penutur asli langka atau bahkan tidak ada, para pemimpin dapat memastikan, masyarakat adat memiliki wewenang atas bagaimana dana publik dibelanjakan untuk melestarikan atau mengembangkan perangkat pembelajaran bahasa.

Tyers mencontohkan proyek bahasa Sami. Masyarakat Sami tinggal di wilayah Sapmi, yang membentang di wilayah utara Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Semenanjung Kola di Rusia.

Baca juga: Viral Video TKI Diduga Picu Kebakaran di Jepang, KJRI: Belum Pasti Ulah WNI

"Masyarakat Sami yang terlibat dalam proyek tersebut adalah mereka yang membuat keputusan keuangan politik," kata Tyers.

Upaya untuk meningkatkan representasi Ainu terus berlanjut. Maya dan ayahnya, Kenji, berharapan lebih banyak orang Ainu akan fasih berbahasa di masa depan. Sebaliknya, mereka ingin masyarakat Jepang lebih memahami dan merangkul aspek unik dari warisan adat daerah ini.

Generasi muda terus menciptakan kata dan frasa baru dalam bahasa Ainu, termasuk imeru kampi. Imeru berarti sambaran petir, sementara kampi berarti surat, keduanya telah menjadi istilah Ainu untuk surat elektronik (surel).

"Bahasanya sendiri tidak akan sama seperti di zaman kuno, tapi tidak apa-apa. Setiap bahasa itu hidup, dinamis, dan terus berubah," kata Kenji.

Artikel ini pernah tayang di BBC News Indonesia dengan judul: Kisah kebangkitan bahasa Ainu milik penduduk asli yang pernah dihilangkan Jepang.

Baca juga: Jasa Sewa Nenek Populer di Jepang, Ajari Masak hingga Damaikan Konflik Keluarga

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau