Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebangkitan Bahasa Ainu, Milik Penduduk Asli yang Pernah Dihilangkan Jepang

Kompas.com - 05/08/2025, 17:16 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

"Dengan menggunakan teknologi, proses ini sebagian besar telah terotomatisasi. Mereka sekarang memiliki 300 hingga 400 jam data tentang bahasa Ainu," kata Tatsuya Kawahara, pakar informatika di Universitas Kyoto, yang memimpin proyek pelestarian rekaman Ainu.

Baca juga: Pecah Rekor, 40 Persen Lebih Ayah di Jepang Ambil Cuti Rawat Anak

"Kualitas suaranya kurang bagus karena banyak yang direkam menggunakan perangkat analog di rumah-rumah, yang terkadang berisik. Pekerjaan ini sangat menantang," sambungnya.

Dengan dukungan dana pemerintah, Kawahara dan rekan-rekannya menggunakan sekitar 40 jam rekaman yang menampilkan uwepeker, istilah untuk prosa naratif Ainu. Rekaman itu berisi delapan penutur, selama ini disimpan Museum Nasional Ainu Upopoy dan Museum Kebudayaan Ainu Nibutani.

Kumpulan rekaman itu merupakan sebagian dari berbagai arsip yang secara total berisi sekitar 700 jam data vokal, yang dikumpulkan sejak tahun 1970-an. Sebagian besar rekaman itu berbentuk kaset, seperti cerita rakyat yang didengar Maya semasa kecil.

Pada tahun 2015, Badan Urusan Kebudayaan Jepang mulai mendigitalkan berbagai rekaman itu untuk penelitian dan pendidikan. Inisiatif menggunakan AI muncul tiga tahun setelahnya.

Secara konvensional, teknologi pengenalan suara otomatis dibangun dengan kumpulan data besar untuk memahami tata bahasa tertentu, sebelum memulai transkripsi.

Namun bahasa yang terancam punah seperti Ainu tidak memiliki data tersebut. Solusinya, para peneliti harus mengandalkan model end-to-end, sebuah pendekatan yang memungkinkan sistem mempelajari cara memproses suara menjadi teks tanpa pengetahuan tata bahasa.

Baca juga: Apa Itu Japanese First, Ide Partai Sanseito yang Menangi Pemilu Jepang?

Tim yang digawangi Kawahara kini sedang mengembangkan sistem sintesis bahasa Ainu berbasis AI. Sejauh ini mereka dapat membuat AI tersebut untuk meniru penutur yang telah memberikan lebih dari 10 jam rekaman.

Sistem ini bahkan telah menghasilkan versi audiovisual dari teks dua cerita prosa, berjudul Kisah Beruang, yang ditranskripsi antara 1950-1960, dan Saudari Raijin yang ditranskripsi pada tahun 1958.

Versi audio AI dari Saudari Raijin telah dibagikan kepada Museum Nasional Ainu Upopoy. Data itu kini digunakan untuk melatih para aktor teater.

Bagi telinga yang kurang terlatih, rekaman dengan suara mirip seorang perempuan tua, terdengar sangat alami, dengan jeda yang jelas dan sejumlah infleksi nada yang biasa terdengar dari penutur asli. Walau begitu, rekaman itu terdengar agak cepat.

"Saya berharap AI semacam ini dapat membantu orang-orang di Hokkaido, baik leluhur Ainu maupun kaum muda, untuk mempelajari bahasa Ainu," kata Kawahara.

Kawahara berkata, AI juga memungkinkan terciptanya avatar virtual, yaitu asisten pengajar Ainu yang dapat membimbing para pembelajar. Timnya juga berharap dapat menangkap lebih banyak dialek Ainu dengan AI serta menyertakan konten dari generasi muda, bukan hanya rekaman lama.

Baca juga: Babak Baru Politik Jepang, Partai Sayap Kanan Raup Suara Jumbo

Seberapa akurat sistem AI?

Saat ini, kemampuan penerjemahan AI itu sebanding dengan kemampuan mahasiswa pascasarjana bahasa Ainu, klaim para peneliti.

Saat melakukan transkripsi beberapa penutur, akurasi pengenalan kata AI mencapai 85 persen. Akurasi AI dalam mengenali fonem (unit bunyi individual dalam suatu bahasa) bisa mencapai 95 persen, meski angka ini turun menjadi 93 persen untuk penutur asing yang menggunakan dialek yang sama, dan menjadi 85 persen untuk penutur dengan dialek yang berbeda.

Namun Maya Sekine meragukan kemampuan AI untuk berbicara bahasa Ainu secara autentik. Dia khawatir teknologi ini akan menyebarkan pengucapan yang keliru dan berbagai kesalahan lainnya.

Awalnya, banyak keturunan Ainu yang dihubungi Kawahara, dan timnya juga waspada terhadap proyek ini. Mereka cemas teknologi ini dapat menciptakan ujaran palsu atau menyebarkan misinformasi.

Namun mereka yang mendukung proyek ini telah membantu memeriksa kualitas transkrip dan ujaran yang dihasilkan komputer serta data sumbernya.

"Sulit untuk mengatakan apa yang saya pikirkan tentang proyek ini," kata Maya.

Meskipun AI dapat meningkatkan kesadaran publik terhadap bahasa tersebut, Maya menilai orang Ainu harus memiliki pengetahuan tentang bahasa tersebut, agar mereka dapat memahami mana yang palsu.

Baca juga: Partai Sayap Kanan Menang Besar di Jepang, Ini Janji-janji Sanseito

"Yang lebih penting adalah mendapatkan dan memverifikasi data langsung," kata Maya.

Maya telah membuat rekamannya sendiri yang berbasis cerita-cerita Ainu yang dituturkan neneknya dan penduduk lanjut usia lainnya di Nibutani.

Ayah Maya, Kenji Sekine, ikut serta dalam inisiatif AI. Dia membantu tim itu mencari rekaman masa lalu.

Meskipun bukan orang Ainu, Kenji mulai mempelajari dialek Saru dari bahasa tersebut, saat membantu istrinya menjalankan kelas bahasa Ainu untuk anak-anak di Nibutani pada 1999. Kenji akhirnya mengambil alih kursus tersebut dan telah mengajar bahasa Ainu sejak saat itu.

"Ini adalah pekerjaan hidup saya. Saya ingin lebih banyak orang belajar. Saya pikir proyek AI ini adalah hal yang baik," ujar Kenji.

Selama kunjungan para peneliti ke Nibutani, mereka membuat pangsit beras bersama sekelompok penduduk. Mereka menghadiri salah satu kelas reguler yang diampu Kenji Sekine, yang diikuti lebih dari selusin siswa berusia tujuh hingga 15 tahun.

Diajarkan secara berkelompok, kelas Kenji berlangsung penuh semangat dan menggabungkan unsur-unsur Te Ataarangi, sebuah metode pengajaran bahasa yang menekankan berbicara dan visualisasi, yang dikembangkan oleh masyarakat Maori, sebuah kelompok Pribumi di Selandia Baru.

Baca juga: Jepang Krisis Beras, Harga Meroket 99 Persen

"Yang kami perjuangkan saat ini adalah persoalan kurangnya rekaman percakapan. Orang terakhir yang kami sebut sebagai penutur asli meninggal dunia 20 tahun yang lalu," kata Kenji.

Menjaga keberlangsungan Ainu jelas penting bagi komunitas ini. Tapi apa konsekuensinya? Maya Sekine bertanya-tanya apakah data yang digunakan untuk melatih sistem AI akan sepenuhnya dapat diakses publik.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau