PENANDATANGANAN Deklarasi New York oleh 19 negara pada 31 Juli 2025 lalu, termasuk Indonesia, menjadi momentum penting dalam upaya global menyelesaikan konflik Israel–Palestina.
Deklarasi yang dihasilkan dari Konferensi Tingkat Tinggi yang diselenggarakan oleh Perancis dan Arab Saudi ini menyerukan penghentian perang di Gaza, dukungan terhadap solusi dua negara, pembebasan sandera, hingga rekonstruksi Gaza.
Namun, terdapat satu poin krusial yang menimbulkan tanda tanya besar, yakni desakan agar Hamas mengakhiri kekuasaan militernya di Gaza dan menyerahkan seluruh senjata kepada Otoritas Palestina.
Poin ini, meskipun dibalut dalam semangat “satu negara, satu pemerintahan, satu hukum, satu senjata”, justru berpotensi mengulang sejarah lama, yaitu politik adu domba atas nama perdamaian.
Jangankan rakyat Palestina, siapa pun yang memahami sejarah konflik Israel–Palestina sedikit saja, akan tahu bahwa setiap upaya internasional yang mensyaratkan pemihakan kepada satu faksi – baik Fatah maupun Hamas – seringkali berujung pada perpecahan internal dan pelemahan perjuangan nasional Palestina secara keseluruhan.
Sejarah adalah saksi bahwa perjuangan Palestina tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia dibentuk oleh kolaborasi antar-generasi, faksi, dan strategi, dari meja negosiasi hingga parit perlawanan.
Baca juga: Evakuasi Rakyat Gaza ke Indonesia
Fatah dan Hamas memang berbeda pendekatan, namun keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni kemerdekaan Palestina.
Strategi pecah belah terhadap bangsa-bangsa yang tertindas bukan hal baru dalam sejarah kolonialisme. Penjajah senantiasa menggunakan logika “divide et impera” untuk mempertahankan kontrolnya.
Saat Belanda menguasai Indonesia, mereka mendorong fragmentasi etnis dan kerajaan. Saat Inggris menguasai India, mereka mempertajam perbedaan antara Hindu dan Muslim.
Kini, ketika perjuangan Palestina belum juga usai, dunia menyaksikan ulang strategi yang sama dengan wajah baru.
Pascapemilu Palestina tahun 2006, di mana Hamas memenangkan suara mayoritas dalam pemilu yang dinilai demokratis oleh banyak pengamat internasional, reaksi global sangat berbeda dibanding ketika Fatah berkuasa.
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan sekutu-sekutunya menolak hasil tersebut. Hamas dijatuhi sanksi dan dianggap sebagai kelompok teroris, meski memiliki mandat elektoral dari rakyat Palestina.
Tekanan internasional ini memicu perpecahan antara Hamas dan Fatah, yang berpuncak pada pengambilalihan Gaza oleh Hamas pada 2007.
Sejak saat itu, perjuangan Palestina terbelah. Gaza di bawah Hamas terus diblokade dan dibombardir Israel, sementara Otoritas Palestina di Tepi Barat dililit dilema legitimasi dan diplomasi yang sering tak membuahkan hasil.
Alih-alih mendorong rekonsiliasi antara kedua kekuatan utama ini, komunitas internasional justru terus menciptakan tekanan asimetris yang hanya menguntungkan Israel. Inilah ironi yang seharusnya dibaca secara jernih oleh Indonesia.