Dari situ, Sumual menuntut otonomi. Dalam bayangan Sumual, otonomi yang lebih besar—setidaknya ekonomi—merupakan konsep yang memiliki nilai.
Maret 1957, Sumual, beserta kelompoknya, menandatangani piagam pendirian Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)—menyusul darurat militer. Gerakan ini, mengutip Barbara, menguraikan niat secara sepihak untuk kewenangan khusus di bidang militer, politik, serta ekonomi. Pendeknya, Permesta ingin mengurangi tangan-tangan Jakarta.
Pemandangan tidak jauh berbeda lahir di Sumatra. Puluhan perwira TNI merapatkan barisan dan menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap Jakarta. Yang vokal menentang ialah Letnan Kolonel Ahmad Husein.
Dia memandang aspirasi daerah, seperti tempat kelahirannya, Padang, tidak digubris Jakarta, dalam hal ini Soekarno. Pemerintah pusat disebut gagal mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang jauh dari kekuasaan.
Akhir 1957, Husein mengambil alih siaran radio lokal dan mengumumkan secara terbuka bahwa tanah Sumatra tidak mematuhi apa yang diputuskan Jakarta.
Memasuki 1958, pada Februari, kelompok pemberontak di Sumatra menyatakan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan elite Masyumi sekaligus mantan Gubernur Bank Indonesia, Syafruddin Prawiranegara, ditunjuk menjadi perdana menteri.
Selain Syafruddin, nama Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah dari Prabowo Subianto, presiden sekarang, menyeruak ke permukaan. Dia bergabung dengan kabinet PRRI dan ditempatkan di kursi penanggung jawab informasi dan pendidikan.
Di tengah itu, Amerika Serikat melihat kesempatan emas untuk menuntaskan misinya: Soekarno.
Mereka berpikir bahwa kolonel-kolonel militer yang membangkang dan membangun kekuatannya sendiri adalah pintu masuk yang strategis dalam mengurus masalah di Indonesia, catat Kenneth Conboy dan James Morrison lewat risetnya yang dibukukan, Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 (2018).
Permasalahannya, menarik perhatian Washington bukan tujuan para perwira yang memberontak, imbuh Conboy dan Morrison. Mereka mempunyai alasan sendiri—etnis dan ekonomi—dalam melawan otoritas pusat di Jawa serta Soekarno.
Faktor "mengeyahkan komunisme," sebagaimana yang dibawa AS, tidak masuk tujuan kelompok pemberontak.
Meski begitu, kedua titik ini akhirnya bersemuka; dihubungkan langsung dengan faktor "kebutuhan senjata."
PRRI dan Permesta menyadari kekuatan mereka tidak cukup kokoh andaikata terlibat konfrontasi bersama TNI. Siapa yang pasokan senjatanya melimpah? Amerika Serikat.
Pemerintah AS kemudian meminta CIA turun gunung. Agen-agen lapangan diterjunkan guna membangun komunikasi ke pentolan PRRI dan Permesta. Sejak awal, walaupun antusias dengan "dukungan" di Indonesia, pemerintah AS memerintahkan kepada para agennya untuk tidak mengambil keputusan apa pun, mengacu buku Feet to the Fire.
Setelah pertemuan demi pertemuan dilangsungkan, CIA berhenti pada kesimpulan bulat: memasok persenjataan untuk kelompok pemberontak di Indonesia.
Di Washington, Direktur CIA kala itu, Allen Dulles, secara optimistis memberi tahu Presiden Eisenhower betapa kelompok pemberontak berpotensi menciptakan kekacauan untuk pemerintahan Soekarno, berdasarkan informasi yang dia dapatkan dari agen-agen di lapangan.
Kekuatan kelompok pemberontak tidak sekadar berpusat di Padang (PRRI) atau Minahasa (Permesta), melainkan berpeluang menyebar ke Kalimantan, Maluku, hingga Jawa, Dulles menjelaskan.
Baca juga: Kisah Aldrich Ames, Agen CIA Pengkhianat, Bocorkan Rahasia ke Uni Soviet
Mengutip buku Feet to the Fire, bantuan CIA termanifestasi, misalnya, lewat setengah lusin senapan mesin kaliber yang diberikan kepada Permesta. Senjata ini dibungkus kain kanvas dan diangkut menggunakan pesawat C-47 dari Filipina.
Sedangkan untuk PRRI di Sumatra, CIA menyediakan ribuan senjata bermacam jenis, dari senapan M1, bazoka, granat, hingga peluncur roket. Pembagian senjata dilakukan dengan dua cara: via laut serta udara.
Di laut, CIA mengandalkan kapal tongkang. Di udara, giliran pesawat C-54 yang ditugaskan.
"Begitu C-54 berada di udara, kabar segera disampaikan ke Padang. Beberapa jam sebelumnya, agen CIA mengambil sebuah jeep dan melaju ke pedalaman untuk mengoordinasikan kelompok yang menerima senjata," tulis Conboy serta Morrison.
Senjata-senjata itu dijatuhkan dari udara. Pasukan PRRI mengambil kotak-kotak berisikan senjata dari hutan "dan menumpuknya di atas enam truk yang menunggu dalam satu barisan," merujuk keterangan Feet to the Fire.
Keterlibatan CIA pada misi rahasia di Indonesia diberi kode "Haik." Proyek Haik menonjol lantaran efisiensinya. Berbeda dengan misi CIA yang merepresentasikan kebijakan luar negeri AS yang masif, Haik sebaliknya: dia operasi yang disetujui di lingkup terbatas—presiden beserta lingkaran elite CIA saja.
Nasib PRRI dan Permesta tidak bertahan lama. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun sejak mereka mengobarkan perlawanan, TNI, di bawah komando AH Nasution, berhasil meredam gerak-geriknya. Ini sudah mencakup penangkapan pilot AS, Allen Pope, yang dituduh hendak mengebom kampung di Ambon, Maluku.
Penangkapan Pope turut membongkar keterlibatan intens CIA di pemberontakan PRRI dan Permesta.
Dalam analisisnya, Kenneth Conboy dan James Morrison mengungkapkan kegagalan PRRI dan Permesta disumbang kondisi lemahnya dukungan politik di kalangan akar rumput. Dari sisi eksternal, atau campur tangan CIA, retorika antikomunisme ternyata dianggap tidak segenting itu untuk diperjuangkan.
Kegagalan PRRI dan Permesta, Conboy dan Morrison melanjutkan, seketika menampar wajah CIA yang sebelumnya, dengan penuh kepercayaan diri, membuat klaim bahwa pemerintahan Soekarno dapat dikendalikan.
Kandas di Permesta dan PRRI, CIA 'menebusnya' pada Peristiwa 1965.
Menguatnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kecenderungan Soekarno merapat ke mereka telah membikin TNI Angkatan Darat (AD) sekaligus Washington cemas, seperti diarsipkan J. D. Legge dalam Soekarno: A Political Biography (1972).
Memasuki dekade 1960, PKI menjelma sebagai kekuatan politik besar di Indonesia, dengan total keanggotaan resmi menyentuh tiga juta orang—belum termasuk organisasi yang terafiliasi ke mereka seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), atau Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Hitung-hitungan tiga juta orang ditulis oleh sejarawan Geoffrey B. Robinson lewat bukunya bertajuk The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66 (2018).
Angka tersebut menjadikan PKI sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah China dan Uni Soviet.