KEMENTERIAN Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) kembali membuat gebrakan. Pemerintah memutuskan menaikkan batas pendapatan penerima rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di wilayah Jabodetabek.
Pekerja lajang yang ingin mengajukan kredit untuk rumah subsidi gaji maksimalnya Rp 12 Juta. Sementara pekerja yang sudah menikah maksimal gajinya Rp 14 juta.
Perubahan ini atas kesepakatan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait atau Ara bersama Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, Kamis (10/4/2025).
Sebelumnya, batasan maksimal penghasilan per bulan untuk lajang adalah Rp 7 juta dan pekerja yang sudah berkeluarga Rp 8 juta, sesuai dengan Keputusan Menteri PUPR Nomor 242/KPTS/M/2020.
Perubahan tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Apakah kebijakan ini bentuk keberpihakan atau justru pengaburan definisi masyarakat berpenghasilan rendah?
Baca juga: Berubah Lagi, Batas Maksimal Gaji Penerima Rumah Subsidi Jadi Rp 14 Juta
Kebijakan ini tampak sederhana, tapi menyimpan pertanyaan mendalam soal arah keadilan sosial dan ketepatan sasaran kebijakan subsidi perumahan.
Di satu sisi, pemerintah tampaknya ingin menyesuaikan dengan realitas inflasi dan kenaikan harga properti.
Namun di sisi lain, kita perlu menelaah: apakah menaikkan ambang batas pendapatan MBR justru menggeser rumah subsidi dari mereka yang betul-betul membutuhkan?
Secara normatif, masyarakat berpenghasilan rendah didefinisikan sebagai kelompok warga negara yang memiliki keterbatasan daya beli sehingga tidak mampu memperoleh rumah layak secara mandiri tanpa bantuan pemerintah.
Dalam berbagai regulasi dan dokumen kebijakan, seperti Peraturan Menteri PUPR No. 20/PRT/M/2019, batas penghasilan MBR biasanya berada di kisaran Rp 4 juta hingga Rp 8 juta per bulan, tergantung wilayah.
Ketika Menteri PKP mengubah batas MBR menjadi Rp 12 juta - Rp 14 juta per bulan di wilayah Jabodetabek, maka secara praktis mengubah lanskap demografis penerima rumah subsidi.
Gaji Rp 12 juta - Rp 14 juta per bulan jelas bukan angka kecil bagi sebagian besar warga. Di luar Jabodetabek, bahkan banyak profesional muda belum mencapai angka tersebut.
Lalu, bagaimana bisa kelompok ini masih digolongkan sebagai "berpenghasilan rendah"?
Tentu pemerintah berdalih bahwa harga tanah dan rumah di Jabodetabek telah melesat jauh dari jangkauan banyak keluarga muda.
Namun, menaikkan batas gaji justru membuka peluang bagi kelompok menengah ke atas yang sebenarnya masih memiliki akses terhadap pembiayaan rumah komersial.