JAKARTA, KOMPAS.com – Sekitar 28 juta warga Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam mengakses air bersih setiap hari.
"Berdasarkan data Badan Nasional Penanggilan Bencana (BNPB) dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU), hingga Maret 2025 sekitar 28 juta warga Indonesia masih harus mendapatkan perhatian dalam akses air bersih setiap hari," kata Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK), Ayodhia G. L. Kalake, dalam sambutannya pada acara webinar nasional memperingati Hari Air Dunia ke-33 tahun 2025, Senin (16/06/2025).
Baca juga: Butuh Rp 100 Triliun buat Capai Akses Air Bersih 100 Persen pada 2045
Ayodhia juga menyoroti tantangan global terkait krisis air bersih dan sanitasi.
Berdasarkan laporan United Nations World Water Development Report 2024, sebanyak 2,2 miliar orang di dunia belum memiliki akses terhadap air minum yang aman, dan 3,5 miliar orang hidup tanpa sanitasi layak.
"Sejak tahun 2000, lebih dari 1.600 konflik terjadi karena air. Tentunya ini juga harus menjadi perhatian bersama, termasuk di Indonesia," tegasnya.
Lebih lanjut, Ayodhia menekankan bahwa 80 persen pasokan air di Indonesia digunakan untuk sektor pertanian, namun di sisi lain, lebih dari 50 persen sumber daya air nasional telah terancam pencemaran.
Ia menilai kondisi ini sebagai ancaman serius terhadap keberlanjutan pangan dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan Layanan Pengelolaan Air Limbah Domestik untuk mempercepat akses sambungan air minum dan sanitasi dinilai belum menunjukkan hasil signifikan.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) Arief Wisnu Cahyono menyebut realisasi anggaran sangat jauh dari yang direncanakan, sehingga target penambahan 3 juta sambungan rumah (SR) sulit tercapai.
Baca juga: Warga Rusun Minta Pramono Anung Batalkan Kenaikan Tarif Air Bersih
"Kami sangat menyesalkan bahwa Inpres 1/2024 belum bisa terealisasi dengan baik. Dari rencana awal Rp 17 triliun, sempat turun menjadi Rp 6 triliun, dan akhirnya yang benar-benar terealisasi hanya Rp 600 miliar," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta Timur, Senin (09/06/2025).
Saat ini, cakupan akses air minum perpipaan di Indonesia baru mencapai sekitar 22 persen. Sementara pemerintah menargetkan kenaikan hingga 40 persen, sehingga dibutuhkan tambahan sekitar 15 juta SR baru.
"Kalau sekarang 22 persen itu kira-kira sekitar 15 juta sambungan. Maka untuk naik ke 40 persen, kita butuh tambah 15 juta lagi," ungkapnya.
Baca juga: Usulkan Inpres Air Bersih dan Limbah, Cara Dody Dukung 3 Juta Rumah
Ia juga menyoroti minimnya anggaran di Kementerian PU, khususnya untuk sektor air minum dan sanitasi, yang dinilai tidak sebanding dengan kebutuhan di lapangan.
Selain keterbatasan fiskal, tantangan lain datang dari model pembiayaan yang belum menarik bagi investor. Tarif air minum yang berlaku saat ini memiliki disparitas besar antara daerah perkotaan dan wilayah-wilayah yang belum terlayani.
"Apakah sektor air minum ini menarik bagi investor? Ini jadi pekerjaan rumah besar. Karena pada akhirnya investor akan melihat IRR (Internal Rate of Return), sementara tarif air minum kita tidak memungkinkan itu secara merata," lanjutnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarangArtikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya