Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilanda Banjir, Bali Perlu Evaluasi Tata Ruang

Kompas.com - 13/09/2025, 11:10 WIB
Aisyah Sekar Ayu Maharani,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tata kota Bali menjadi sorotan setelah banjir besar melanda beberapa wilayah pada awal bulan September 2025.

Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menilai, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari konflik kepentingan antara ruang untuk manusia dan ruang untuk air.

"Sebetulnya ini ada konflik yang namanya konflik antara tata ruang untuk air dan tata ruang untuk manusia. Nah, tata ruang untuk manusia ini yang memang sudah agak berlebihan," kata Yayat kepada Kompas.com, Jumat (12/9/2025).

Baca juga: Hotel Jakarta Berjuang Penuh Tantangan, Bali Bangkit Berkat Wisatawan

Menurutnya, pembangunan masif perumahan, hotel, dan kawasan perdagangan membuat ruang terbuka hijau semakin tergerus. 

Padahal, sejak lama Bali dikenal dengan aturan tata ruang yang ketat dan berpijak pada adat serta agama. Namun, seiring dengan meningkatnya investasi, aturan itu mulai bergeser.

Krisis Resapan Air

Yayat menilai, masalah utama tata kota Bali saat ini adalah berkurangnya ruang resapan air. Hal itu membuat air hujan tidak tertampung dengan baik, sehingga melimpas ke jalanan.

"Desain kota itu satu, sudah mulai menghilangkan resapan. RTH (Ruang Terbuka Hijau) berkurang, area sawah, kebun juga berkurang. Akhirnya apa? Kita mengalami krisis resapan air," ujarnya.

Baca juga: Hotel di Bali Lebih Boros Listrik Dibanding Jakarta, Ini Alasannya

Ia menambahkan, kapasitas drainase yang tidak memadai semakin memperparah kondisi. Hujan dengan intensitas tinggi dengan puncak hujan yang dulu mungkin terjadi dalam siklus 50 atau 100 tahunan, telah muncul. Namun, infrastruktur perkotaan di Bali belum siap mengantisipasi pola hujan ekstrem tersebut.

"Kalau kemarin kita tahu hujan ekstrem cukup besar, cukup lebat, sementara drainasenya masih lama atau dimensinya kecil, tidak terawat, penyempitan, dan banyak pembangunan perumahan baru itu tidak memperhatikan aspek drainasenya," ujar Yayat.

Ia mencontohkan, di Jakarta dimensi gorong-gorong sudah diperbesar hingga dua meter untuk mengurangi risiko banjir. Sementara itu, di Bali drainase inti kota belum banyak berubah. Akibatnya, ketika air hujan meluap, jalan raya berubah menjadi aliran sungai dadakan.

Perlu Evaluasi Tata Ruang

Yayat menekankan perlunya evaluasi besar-besaran terhadap tata ruang di Bali. Menurutnya, pemerintah harus mengkaji ulang keseimbangan antara tata ruang kota dan tata ruang air.

Jika ruang-ruang air itu terus dihilangkan, banjir besar akan lebih sering terjadi.

"Ruang air itu artinya misalnya ada kolam-kolam retensi yang hilang, ada waduk atau situ yang hilang, ada resapan yang hilang," katanya.

Baca juga: Ingin Tinggal di Bali? Ini Pilihan Rumah Murah di Kabupaten Jembrana

Di sisi lain, aturan adat di Bali yang tidak memperbolehkan pembangunan gedung tinggi juga menjadi tantangan tersendiri. 

Kondisi tersebut membuat hampir seluruh pembangunan dilakukan dalam bentuk landed house atau rumah tapak. Akibatnya, lahan kosong semakin menyempit dan daya tampung ruang untuk air berkurang.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau