JAKARTA, KOMPAS.com - Tragedi maut Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo telah mengungkap borok dalam tata kelola pembangunan fasilitas publik di Indonesia yakni budaya mengabaikan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Masalah ini bukan hanya soal ketidakpatuhan, melainkan perpaduan rumit antara mitos biaya mahal, keengganan pemerintah daerah, dan salah kaprah pemahaman wilayah privat.
Ketua Umum Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo), Erie Heryadi, menegaskan bahwa seluruh bangunan publik, termasuk Ponpes, yang tidak memiliki PBG perlu dievaluasi menyeluruh.
Baca juga: Gagal Struktur Ponpes Al Khoziny, Ini SOP yang Harus Ditaati
"Kami sangat setuju dengan pendapat ini, bahwa seluruh bangunan yang tidak memiliki izin harus dievaluasi dulu kelayakannya. Hal ini untuknya mencegah terjadi kembali korban meninggal akibat tertimpa bangunan yang runtuh," tegas Erie kepada Kompas.com, Selasa (7/10/2025).
Erie memaparkan secara komprehensif akar masalah ini dan menawarkan solusi yang berpotensi mencegah tragedi serupa di masa depan.
Erie menjelaskan dua faktor utama yang membuat Pondok Pesantren (Ponpes) rentan terhadap kegagalan struktural.
Banyak pengelola Ponpes merasa tidak memerlukan PBG ketika membangun gedung di dalam kompleksnya.
Baca juga: Cuma 0,12 Persen Ponpes di Indonesia yang Punya PBG
Mereka beranggapan kompleks Ponpes adalah "daerah privat," dan bukan wilayah publik.
"Padahal, mereka lupa bahwa gedung yang dibangun akan digunakan oleh publik, yaitu ribuan santri dari berbagai daerah di Indonesia," imbuh Erie.
Di sisi lain, pemerintah daerah (Pemda) kerap tidak melakukan pemeriksaan atas perizinan pembangunan di dalam kompleks Ponpes.
"Ini diduga terjadi karena adanya rasa segan dan enggan terhadap para ulama yang memiliki dan mengelola Ponpes tersebut. Akibatnya, pengawasan dan penegakan regulasi menjadi tumpul," cetus Erie.
Mengutip pernyataan Project Director Alien Bangun Nusantara, Aditya W Fitrianto, ketaatan terhadap regulasi dan keterlibatan tenaga ahli bersertifikat adalah harga mati, terutama untuk bangunan publik.
"Sangat penting, terutama bangunan publik. Untuk ruang privat juga tetap perlu, karena terkait kenyamanan dan keselamatan bangunan gedung," tegas Aditya.
Baca juga: Pentingnya Arsitek dan PBG agar Konstruksi Bangunan Tak Jadi Tragedi
Menurutnya, runtuhnya sebuah bangunan selalu diawali oleh proses konstruksi yang cacat, mulai dari perancangan/desain, penetapan penyedia jasa, hingga proses konstruksi dan pemeliharaan.
Dalam setiap tahapan ini, harus ada penanggung jawab bersertifikat untuk memitigasi risiko kegagalan.