Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Warna Pink Simbol Perjuangan: Dari Feminitas hingga Aksi Perlawanan

KOMPAS.com – Selama berabad-abad, warna pink identik dengan kelembutan, feminitas, dan keindahan bunga. Namun, maknanya terus berubah seiring zaman. 

Kini, warna pink simbol perjuangan yang muncul di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Dari gaun bangsawan Perancis abad ke-18, pita kanker payudara, gerakan feminis global, hingga kerudung pink di tengah aksi massa Jakarta, warna ini terus berevolusi menjadi bahasa visual perlawanan.

Akar sejarah warna pink 

Pink awalnya hadir di Eropa pada abad ke-18 sebagai simbol kemewahan. Madame de Pompadour, selir Raja Louis XV, bahkan memiliki rona khas bernama rose pompadour. 

Kala itu, pink bukan milik perempuan semata. Warna ini kerap dikenakan laki-laki bangsawan sebagai lambang status sosial.

Namun, menjelang abad ke-20, terjadi pergeseran makna. Pink mulai diasosiasikan dengan anak perempuan. 

Artikel majalah Earnshaw’s tahun 1918 justru menyebut pink cocok untuk anak laki-laki karena dianggap kuat, sementara biru untuk anak perempuan karena lembut. 

Pergeseran besar terjadi pasca-Perang Dunia II ketika industri ritel dan pemasaran Amerika memperkuat stereotip pink untuk perempuan, sementara biru untuk laki-laki.

Dari Barbie hingga aktivisme 

Seiring berkembangnya budaya populer, pink tampil dalam berbagai wajah. Barbie Pink, Hello Kitty, hingga fenomena millennial pink di era media sosial menegaskan betapa cairnya makna warna ini. 

Pink bisa hadir sebagai estetika imut, gaya retro, hingga ikon fesyen punk dan pop art.

Tetapi, pink juga menjadi alat perjuangan. Pada 1990-an, pita pink dipilih sebagai simbol kampanye global kesadaran kanker payudara. 

Dua dekade berikutnya, kelompok aktivis CodePink di AS menggunakan warna ini untuk menentang perang Irak.

Gulabi Gang: perlawanan desa di India 

Di India, warna pink menjelma dalam bentuk yang berbeda. Gulabi Gang, atau “Geng Pink,” lahir pada 2006 di Uttar Pradesh di bawah pimpinan Sampat Pal. 

Para anggotanya, ribuan perempuan desa, mengenakan sari pink terang sambil membawa tongkat bambu (lathi) sebagai simbol perlawanan terhadap kekerasan domestik, patriarki, dan diskriminasi kasta.

Bagi mereka, pink bukan sekadar warna lembut. Pink adalah lambang kekuatan, keberanian, dan persaudaraan. 

Sari pink memberi rasa percaya diri sekaligus menciptakan identitas kolektif yang ditakuti lawan. 

Bahkan, pink dijadikan medium seni dan ekonomi, melalui kerajinan tangan dan produk buatan anggota sebagai sumber penghidupan.

Pussyhat project dan lautan pink 

Simbol politik warna pink mencapai puncaknya saat Women’s March di Amerika Serikat, 2017. Ribuan perempuan memakai pussyhat rajut berwarna pink sebagai bentuk protes terhadap ujaran seksis Donald Trump. Lautan pink membanjiri Washington DC dan berbagai kota lain.

Topi rajut sederhana itu dirancang mudah dibuat agar siapa pun bisa berpartisipasi. Maknanya jelas reclaiming, merebut kembali kata “pussy” yang sering digunakan merendahkan perempuan, sekaligus menjadikan warna pink lambang solidaritas feminis.

Namun, simbol ini menuai kritik. Sejumlah kelompok menilai pussyhat terlalu berpusat pada pengalaman perempuan kulit putih cisgender, sehingga mengabaikan keberagaman identitas dalam gerakan feminis. 

Meski begitu, pink tetap berhasil menegaskan kekuatan politik melalui fesyen dan estetika protes.

Warna pink di Indonesia 

Melansir dari Kompas.com, pada akhir Agustus 2025, sorotan publik tertuju pada seorang ibu berkerudung pink yang berdiri di garis depan demonstrasi di Jakarta. 

Dengan busana sederhana dan bendera merah putih di tangannya, aksinya terekam kamera dan viral di media sosial.

Sejak saat itu, warna pink yang dahulu lekat dengan feminitas dan kelembutan berubah makna menjadi simbol keberanian dan perjuangan. 

Fenomena ini juga melahirkan tren digital dengan istilah Brave Pink, Hero Green, dan Resistance Blue sebagai kode solidaritas rakyat.

Brave Pink, Hero Green, dan Resistance Blue tidak berhenti sebagai fenomena jalanan. Di media sosial, banyak warganet mengganti foto profil dengan nuansa tiga warna itu sebagai bentuk dukungan. Filter digital pun bermunculan untuk memudahkan ekspresi solidaritas.

Fenomena ini menegaskan bahwa warna bisa menjadi bahasa visual yang kuat, menyampaikan pesan politik tanpa kata-kata. 

Tiga warna ini kini dipahami sebagai simbol keberanian, solidaritas, dan perlawanan rakyat Indonesia.

Perjalanan warna pink simbol perjuangan membuktikan bahwa makna sebuah warna bisa bergeser mengikuti konteks sosial dan politik. 

Dari simbol kemewahan bangsawan Perancis, stereotip gender abad ke-20, hingga kini menjadi lambang keberanian di jalanan Indonesia.

Bersama Brave Pink, Hero Green, dan Resistance Blue, warna telah menjadi alat perjuangan kolektif, menyatukan masyarakat dalam simbol visual yang mudah dikenali.

Referensi: 

  • Koller, Veronica. (2008). Not just a colour': pink as a gender and sexuality marker in visual communication, journal Visual Comuunication. New York: Lancaster University
  • Thakkar, Shriya. (2017). Art in Everyday Resistance: A Case Study of the Pink Vigilantes of India, Vol 3(1):8-11. Junctions: Graduate Journal of the Humanities
  • (Sumber: Kompas.com/ Puspasari Setyaningrum)

https://www.kompas.com/stori/read/2025/09/03/150000779/warna-pink-simbol-perjuangan--dari-feminitas-hingga-aksi-perlawanan

Bagikan artikel ini melalui
Oke