Konferensi Meja Bundar (KMB) menghasilkan keputusan bahwa Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Konstitusi RIS Pasal 1 menyebutkan kekuasaan dijalankan oleh Pemerintah bersama DPR dan Senat.
DPR RIS mewakili tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom.
Lembaga ini memiliki wewenang mengawasi pemerintah, meski Presiden tidak dapat diganggu gugat dan para menteri bertanggung jawab langsung kepada DPR.
Baca juga: Sejarah Gedung DPR/MPR RI
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950, konstitusi RIS digantikan dengan UUD Sementara Republik Indonesia. DPR pada periode ini memiliki kewenangan lebih luas.
Pemilu 1955 menjadi tonggak penting karena untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum.
Dari pemilu ini, terpilih 272 anggota DPR serta 542 anggota Konstituante.
Hubungan DPR hasil pemilu 1955 dengan DPRS memiliki kesamaan fungsi, yaitu mengawasi jalannya pemerintahan berdasarkan landasan hukum yang berlaku.
Pada 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Sejak saat itu, kewenangan DPR menjadi lebih terbatas. Jika dibandingkan dengan masa UUD RIS 1945 atau UUD Sementara 1950, hak DPR dalam UUD 1945 lebih sempit.
DPR Masa Orde Baru Gotong Royong (1966–1971)
Memasuki Orde Baru, DPR menyesuaikan diri dengan perubahan politik. DPR-Gotong Royong 1966–1971 memiliki tiga tugas utama, yaitu:
Baca juga: Mengapa Soekarno Membubarkan DPR?
Berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, DPR RI memiliki tugas sebagai berikut:
Baca juga: Jelang Reformasi 1998: Pimpinan DPR/MPR Desak Soeharto Mundur
Referensi:
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini