Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa pergerakan massa berskala besar, seperti terangkatnya daratan ke atas setelah gletser mencair, atau hilangnya lapisan es dengan cepat di Greenland dan Antarktika, dapat menyebabkan pergeseran tersebut.
Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan air di daratan, terutama kelembapan tanah, dapat memiliki efek yang sama dan terkadang bahkan lebih besar.
Para ilmuwan telah mengamati bagaimana Bumi bergerak pada porosnya sejak awal abad ke-20, dan mengetahui dengan pasti di mana letaknya, menjadi semakin penting saat ini.
“Anda mungkin bertanya-tanya mengapa pergeseran kecil seperti ini menarik atau bahkan layak untuk diukur,” kata Wilson.
“Saya selalu menunjukkan, setiap posisi GPS yang Anda dapatkan di ponsel bergantung pada pengetahuan tentang di mana letak kutub. Jadi, pergerakan tiang dipantau dengan sangat hati-hati, hingga ke milimeter," tambahnya.
Menurut penelitian, pergeseran kutub sebesar 45 cm yang diamati pada awal tahun 2000-an berkaitan dengan wilayah-wilayah yang paling banyak mengalami kekeringan, termasuk:
Ketika air hilang dari wilayah-wilayah ini dan menyebar lebih merata ke seluruh samudra, redistribusi massa menggeser perputaran planet.
Baca juga: Wilayah Bumi dengan Gravitasi Terkuat dan Terlemah, Ada di Mana?
Dampak dari pergeseran rotasi Bumi bisa memengaruhi akurasi arah atau potensi kesalahan pada sistem GPS atau Global Positioning System.
Selain itu, tanah yang kering berarti akan membuat lebih sedikit penguapan. Kondisi ini dapat mengurangi pembentukan awan lokal dan curah hujan, sehingga memperparah kondisi kekeringan.
Kondisi ini juga memengaruhi pertanian, ekosistem, dan penyerapan karbon. Tak hanya itu, tanah yang lebih kering juga akan memaksa peningkatan pemompaan air tanah.
“Hal ini menempatkan keamanan air global pada risiko yang lebih besar, karena sebagian besar air tanah yang dipompa tidak akan pernah terisi kembali," kata Famiglietti.
Pada akhirnya, hilangnya air tanah secara global dapat membuat sebagian besar lahan menjadi tidak dapat dihuni, sehingga mendorong terjadinya migrasi massal, kelangkaan pangan, dan konflik.
“Temuan kami menunjukkan, peningkatan evapotranspirasi telah memainkan peran penting dalam penurunan kelembapan tanah dan peningkatan ini kemungkinan besar akan terus berlanjut di bawah iklim yang memanas," tambah Famiglietti.
Penelitian ini juga menyoroti beberapa kelemahan utama dalam pemodelan iklim saat ini.
“Di antara berbagai model, hanya (satu) model yang berhasil menangkap peristiwa dramatis ini. Para pengembang model perlu menilai dan meningkatkan akurasi model mereka untuk memproyeksikan kondisi iklim di masa depan dengan lebih baik," kata Seo.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini