KOMPAS.com - Di Hong Kong yang padat, dampak perubahan iklim terasa makin berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Di tengah suhu ekstrem, mereka harus bertahan di hunian sempit yang panas dan tidak layak.
Dilansir dari CNN, Minggu (17/8/2025), pada suatu sore musim panas di Hong Kong, apartemen kecil milik Yeung Fong-yan terasa seperti oven.
Mesin AC yang terus menyala tak mampu menurunkan suhu di ruangan beratap seng itu.
Termometer dalam kamar menunjukkan angka 36 derajat Celsius.
Yeung tinggal bersama cucunya yang berusia 13 tahun di sebuah flat atap di distrik Sham Shui Po.
Setiap hari, sang cucu harus memanjat sembilan lantai tanpa lift hanya untuk sampai ke rumah. Tubuhnya sering basah kuyup oleh keringat sebelum sempat beristirahat.
Baca juga: Hong Kong Krisis Tempat Tinggal, Bekas Lokasi Karantina Covid-19 Diubah Jadi Hostel
Hunian semacam itu bukanlah pilihan, melainkan keterpaksaan.
Harga sewa yang melambung dan minimnya rumah umum memaksa ribuan keluarga berpenghasilan rendah menghuni “rumah kandang” atau flat darurat di atas gedung-gedung tua.
Di musim panas, dinding tipis tak mampu menahan panas.
Atap bocor kala hujan, dan kelembapan tinggi membuat udara pengap. Ruangan berubah menjadi tungku raksasa, jauh dari kata layak huni.
Menurut perkiraan, ada sekitar 220.000 orang tinggal di unit subdivisi, flat atap ilegal, atau rumah kandang semacam ini.
Sebagian besar di antaranya minim ventilasi, tanpa jendela, bahkan dipenuhi kecoak dan tikus.
“Beberapa kondisinya benar-benar tidak manusiawi,” kata Wakil Direktur organisasi nirlaba SoCO, Sze Lai Shan.
“Ada keluarga yang tinggal di ruang 4,5 meter persegi dan harus berbagi dapur serta toilet dengan puluhan rumah tangga lain,” lanjut dia.