KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis daftar wilayah berpotensi hujan lebat dan angin kencang pada Kamis (28/8/2025) dan Jumat (29/8/2025).
Masyarakat diimbau tetap waspada terhadap potensi banjir, tanah longsor, genangan, dan gangguan transportasi dalam beberapa hari ke depan.
Pantau selalu informasi resmi BMKG, bersihkan saluran drainase di lingkungan, dan sesuaikan rencana aktivitas dengan prakiraan cuaca.
“Nelayan serta pengguna jasa penyeberangan agar memperhatikan peringatan angin kencang dan gelombang tinggi di wilayah perairan masing-masing,” terang BMKG, dikutip dari laman resminya.
Baca juga: Tak Hanya Merusak, Badai Tropis Juga Memberi Manfaat bagi Bumi, Apa Saja?
BMKG menyebut, ada potensi pembentukan awan hujan yang cukup signifikan di wilayah Indonesia selama sepekan mendatang.
Kondisi tersebut dipicu oleh berbagai interaksi berbagai faktor atmosfer yang memiliki skala global, regional, juga lokal.
Hal itu membuat atmosfer berada dalam kondisi labil dan mendukung perkembangan awan konvektif.
“Akibatnya, hujan dengan intensitas ringan hingga lebat berpeluang terjadi di berbagai wilayah,” jelasnya.
Salah satu faktor skala global, Dipole Mode Index (DMI) −0,91 menunjukkan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif lemah yang cenderung meningkatkan pasokan uap air ke Indonesia bagian barat.
Faktor skala global lainnya, Nino 3.4 −0,22 (netral) dan Southern Oscillation Index (SOI) +2,0 (netral) tidak memberikan penguatan pembentukan awan yang berarti.
Kemudian BMKG menyampaikan, saat ini ada Madden–Julian Oscillation (MJO) fase 3 yang mendukung konveksi di Indonesia bagian barat dan tengah.
Dalam beberapa hari ke depan MJO diperkirakan menguat dan bergeser ke fase 4, yakni semakin mendekati wilayah Indonesia.
Baca juga: Kenali Beda Tanda Hujan Deras Berdurasi Singkat dan Gerimis yang Berlangsung Lama
Pada skala regional, potensi hujan diperkuat oleh gelombang Kelvin, Rossby Ekuator, dan Mixed Rossby Gravity (MRG) yang aktif di beberapa wilayah.
Selain itu, gelombang berfrekuensi rendah (low frequency) persisten di sejumlah wilayah Indonesia.
Kondisi tersebut sejalan dengan anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR) negatif dan Sea Surface Temperature (SST) yang lebih hangat di sejumlah perairan.