KOMPAS.com - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) merangkum sejumlah peristiwa yang dinilai memicu ketidakpuasan rakyat Indonesia, ditandai dengan munculnya aksi demonstrasi di berbagai daerah.
Rangkaian kejadian itu kemudian disebarkan akun milik gerakan Bareng Warga di platform X.
Mereka menilai kemarahan warga bukan hanya dipicu aksi akhir Agustus 2025, melainkan dari rentetan keputusan pemerintah yang dinilai mengabaikan aspirasi publik.
"Halo @prabowo Kemarahan warga tidak jatuh dari langit. Ia akumulasi dari suara yang diremehkan, janji yang diingkari, dan luka yang dibiarkan menumpuk. #ResetIndonesia," tulis akun @barengwarga, Jumat (5/9/2025).
Baca juga: Mengenal Gen Z dari Aksi Demo 2025: Kritis, Estetik, Bertahan dengan Humor
Dalam infografis tersebut, CELIOS menjelaskan alur kemarahan publik sejak tahun 2023 sebelum Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2024.
Lantas, bagaimana CELIOS mengurai kejadian-kejadian itu sebagai pemicu kemarahan publik?
Founder dan Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira memaparkan bahwa akumulasi kemarahan publik disebabkan rentetan kejadian-kejadian yang sebelumnya tidak terselesaikan.
Sejak akhir 2023, lembaga pemerhati ekonomi itu mencatat sudah ada sejumlah peristiwa yang memicu reaksi keras masyarakat.
Menurut Bhima, publik marah karena perasaan mereka sudah berkali-kali dilukai sejak perubahan syarat Capres-Cawapres oleh Mahkamah Konstitusi 2023 lalu.
Selain itu, masyarakat sudah lama merasakan ketimpangan ekonomi yang diikuti dengan pelarangan penjualan LPG 3 kg di pengecer.
Situasi yang tidak ideal ini kemudian semakin memanas karena ucapan dan sikap anggota DPR ketika menghadapi kritikan dari masyarakat.
"Ada akumulasi kemarahan publik sebelum kejadian tanggal 25 hingga 28 Agustus 2025, mulai dari pelanggaran konstitusi, ketimpangan ekonomi, gas LPG 3 kg hingga ucapan anggota DPR yang melukai perasaan warga," kata Bhima ketika dihubungi Kompas.com, Sabtu (6/9/2025).
Baca juga: Jawaban DPR soal 17+8 Tuntutan Rakyat: Tunjangan Dipangkas, Warganet Tetap Tidak Puas
Menurutnya, ucapan Sahroni serta sikap Eko Patrio bukanlah semata-mata menjadi alasan publik menggelar aksi protes.
Bahkan, demonstrasi semakin marak selama beberapa minggu terakhir.
Bhima berpendapat, letak masalah ada di eksekutif yang membantu Presiden RI Prabowo Subianto dalam menjalankan pemerintahan.
"Jadi tidak benar bahwa aksi protes yang marak dan serentak di berbagai wilayah hanya karena Sahroni, Eko Patrio saja sebagai anggota DPR, tapi ada masalah di eksekutif, di pembantu Prabowo langsung," jelasnya.
Lebih lanjut, Bhima menyatakan bahwa masalah-masalah itu jika tidak diselesaikan maka tidak akan meredam kemarahan publik sepenuhnya.
Jika penangkapan aktivis dilakukan untuk meredam massa terus dilakukan, ketidakpuasan publik tetap akan ada.
"Masalah tadi kalau tidak diselesaikan maka ketidakpuasan publik saat ini hanya temporer diredam dengan penangkapan aktivis, tapi akar masalah penyebab kemarahannya tidak selesai," ujarnya.
Baca juga: Deadline 17+8 Tuntutan Rakyat Jatuh Hari Ini, Begini Respons Sejumlah Pejabat
Berdasarkan pengamatan CELIOS, berikut kasus-kasus yang telah memicu kemarahan publik hingga akhir Agustus 2025:
16 Oktober 2023
14 November 2024
22 Januari 2025
23 Januari 2025
31 Januari 2025
Februari 2025
24–27 Februari 2025
21 Maret 2025
23 April 2025
25 April 2025
26 Maret 2025
2 April 2025
Awal Mei 2025
15 Mei 2025
28 Mei 2025
3–9 Juni 2025
16 Juni 2025
4–10 Juli 2025
10 Juli 2025
20 Juli 2025
5 Agustus 2025
12–13 Agustus 2025
12–13 Agustus 2025
19–21 Agustus 2025
25 Agustus 2025
28 Agustus 2025
Setelah kematian pengemudi ojek online Affan Kurniawan, rekan-rekan satu profesi pun dari berbagai wilayah pun melakukan aksi solidaritas.
Namun sayangnya, aksi tersebut berakhir dengan kerusuhan antara aparat dengan massa.
Kemudian, gelombang demonstrasi sejak akhir Agustus 2025 melahirkan 17+8 Tuntutan Rakyat yang digagas sejumlah influencer.
Pada Jumat (5/9/2025), DPR RI menanggapi dengan enam poin utama.
Salah satunya penghentian tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan bagi anggota dewan, fasilitas yang sebelumnya menuai kritik luas dan disebut sebagai salah satu pemicu kemarahan publik.
Meski sudah ada respons, tanggapan itu belum menjawab semua 17 tuntutan yang seharusnya dituntaskan pada Jumat (5/9/2025) lalu.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini