Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makan Dipapah, Menu Tunggal, dan Larangan Telur: Praktik MPASI Tradisional yang Masih Bertahan

Kompas.com - 13/08/2025, 16:00 WIB
Ria Apriani Kusumastuti

Penulis

KOMPAS.com – Beberapa praktik pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) tradisional yang dinilai tidak sesuai rekomendasi medis masih ditemukan di masyarakat.

Hal ini diungkapkan Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A, Subsp.Kardio(K), dan anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, dr. Winra Pratita, Sp.A, M.Ked(Ped), dalam seminar media daring bertema “Pola Asuh Tradisional vs Pengetahuan Modern: Tantangan dalam Pemberian MPASI” pada Selasa (12/8/2025).

Baca juga: IDAI Ingatkan MPASI Tepat untuk Cegah Stunting, Luruskan Mitos yang Masih Beredar

Tradisi makan dipapah masih ditemukan

Anggota Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, Dr. Winra Pratita, Sp.A, M.Ked(Ped), dalam seminar media daring bertajuk ?Pola Asuh Tradisional vs Pengetahuan Modern: Tantangan dalam Pemberian MPASI?, Selasa (12/8/2025).Tangkapan layar seminar media daring IDAI. Anggota Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, Dr. Winra Pratita, Sp.A, M.Ked(Ped), dalam seminar media daring bertajuk ?Pola Asuh Tradisional vs Pengetahuan Modern: Tantangan dalam Pemberian MPASI?, Selasa (12/8/2025).

Praktik makan dipapah, makanan dikunyah terlebih dahulu oleh orang dewasa lalu disuapkan kepada bayi, masih ditemukan di beberapa daerah.

Menurut Winra, kebiasaan ini berisiko tinggi terhadap kesehatan bayi karena tidak memenuhi prinsip keamanan dan kebersihan MPASI.

“Kalau dipapah, makanan sudah terkontaminasi bakteri atau virus dari mulut orang dewasa. Ini dapat menjadi media penularan penyakit,” kata Winra.

Baca juga: IDAI: Pengobatan Asma pada Anak Perlu Disesuaikan dengan Gejala dan Usia

Kebiasaan memberikan MPASI menu tunggal, seperti hanya pisang atau bubur beras tanpa lauk, juga menjadi perhatian IDAI.

“Pemberian MPASI tunggal tidak dianjurkan karena kebutuhan gizi bayi tidak akan terpenuhi. Anak berisiko gagal tumbuh, stunting, dan malnutrisi,” ujarnya.

Winra menyebut masih menemukan bayi usia delapan bulan yang belum pernah mendapat sumber protein hewani seperti daging ayam atau ikan.

Larangan protein hewani perlu diluruskan

Larangan memberikan telur, daging sapi, atau ikan pada bayi di bawah usia tertentu masih ada di sebagian masyarakat. Alasannya bervariasi, mulai dari takut bau mulut hingga risiko tersedak duri ikan.

Winra menegaskan, rekomendasi IDAI dan WHO menganjurkan pemberian protein hewani sejak bayi berusia enam bulan.

“Protein hewani mengandung asam amino esensial, zat besi, vitamin D, vitamin B12, dan zinc yang penting untuk pertumbuhan dan mencegah stunting," kata Winra.

Baca juga: IDAI: Anemia Bisa Rusak Otak Anak dan Turunkan Kecerdasan, Ini Langkah Pencegahannya

Edukasi harus sasar satu keluarga

Ketua PP IDAI, Piprim, menilai edukasi gizi tidak boleh hanya ditujukan kepada ibu, tetapi juga anggota keluarga lain yang berperan dalam pengasuhan anak.

“Kita tidak langsung menyalahkan, tapi meluruskan dengan cara yang bijak. Edukasi harus jelas dan sederhana agar bisa diterima masyarakat,” ujarnya.

IDAI mengajak masyarakat memanfaatkan sumber protein hewani lokal seperti telur, ikan, dan hati ayam, sekaligus meninggalkan praktik berisiko terhadap kesehatan anak.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau