
”SUDAH, dimasak saja.” Demikian komentar ringan Hasan Nasbi saat dimintai tanggapan terkait teror kepala babi yang dikirimkan ke kantor redaksi Tempo.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) ini menyarankan agar bangkai kepala babi itu dimasak saja.
Komentar Hasan Nasbi langsung menuai kecaman dari berbagai kalangan. “Juru Bicara” Istana ini dianggap tak memahami substansi dan tak memiliki empati terhadap teror yang menimpa salah satu media massa di Indonesia ini.
Hasan Nasbi terkesan menganggap enteng dan remeh teror yang menarik perhatian publik. Padahal, bisa jadi teror ini tak hanya dialamatkan kepada Tempo semata, tapi juga kepada semua media massa. Karena, teror serupa bisa menimpa media massa mana saja dan kapan saja.
Baca juga: Kebijakan Tanpa Narasi
Hasan Nasbi bukan yang pertama. Sebelumnya, sejumlah pejabat pemerintah juga melakukan gaya komunikasi serupa.
Sebut saja pernyataan Menteri Percepatan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Rachmat Pambudy yang mengatakan makan bergizi gratis (MBG) lebih mendesak dibanding memberikan lapangan pekerjaan.
Di tengah gelombang pemutusan hubungan keja (PHK) di sejumlah perusahaan dan tingginya angka pengangguran, pernyataan ini dinilai jauh dari simpati dan empati.
Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’I juga dinilai tak peka karena menyebut permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) kepada perusahaan, pedagang dan lembaga adalah budaya Indonesia.
Pasalnya, pernyataan ini seolah melegalkan aksi “pemalakan” yang dilakukan sekelompok orang. Padahal aksi ini dianggap meresahkan dan sejumlah pelakunya sudah ditangkap polisi.
Jika dibeberkan bisa panjang, mulai dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hidayana yang menyebut Timnas sepak bola Indonesia susah menang karena kurang gizi dan lahir dari kampung.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak yang menyebut para pengkritik terkait revisi UU TNI sebagai 'orang-orang berotak kampungan'.
Lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menyebut perekonomian Indonesia lebih hebat daripada Timor Leste.
Baca juga: MBG Lebih Mendesak daripada Lapangan Kerja?
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga kerap menjadi ”bola liar” karena tidak tersampaikan dengan baik sebelum diberlakukan.
Misalnya, soal rencana kenaikan PPN 12 persen. Publik dibuat bingung dengan pernyataan berbeda-beda dan terkesan tak sejalan di antara sesama pejabat pemerintahan.
Kasus serupa juga terulang terkait kebijakan distribusi gas elpiji bersubsidi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengeluarkan kebijakan penghentian penjualan gas elpiji 3 kg untuk pengecer.