YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Gunung Rinjani menjadi salah satu tujuan pendakian paling populer di Indonesia.
Orang yang melakukan pendakian di Gunung Rinjani tidak hanya berasal dari dalam negeri tetapi juga luar negeri.
Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, terjadi dua insiden di Gunung Rinjani yang menyita perhatian baik dalam negeri maupun luar negeri.
Seorang warga negara Brasil meninggal dunia pada akhir Juni 2025 setelah terjatuh ke dalam jurang.
Kemudian, pada 16 Juli 2025, seorang warga negara Swiss terjatuh di jalur pendakian dan mengalami patah tulang.
Baca juga: Jalur Pendakian Pelawangan Sembalun Ditutup Sementara, BTN Gunung Rinjani Lakukan Perbaikan
Guru Besar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Baiquni memberikan pandangannya.
Prof. Baiquni mengatakan Gunung Rinjani memiliki karakter topografi yang tidak bisa dianggap remeh.
Medan yang terbentuk dari aktivitas vulkanik menghasilkan tebing curam, kaldera tajam, dan paparan gas sulfur yang berisiko tinggi bagi pendaki pemula.
Hal tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya mendaki Rinjani pada tahun 1983.
"Gunung Rinjani terbentuk dari intrusi magma yang mengangkat Pulau Lombok. Kaldera yang curam, tebing-tebing tajam, serta keberadaan danau Segara Anak membuatnya berbeda dari pegunungan non-vulkanik seperti Alpen atau Andes," ujar Prof. Baiquni dalam keterangan tertulis Humas UGM, Jumat (18/07/2025).
Prof. Baiquni melihat banyak pendaki yang menganggap medan Rinjani sama dengan gunung-gunung populer lainnya.
Padahal, medan vulkanik memiliki potensi bahaya yang berbeda.
Tanpa pemahaman yang cukup, reaksi tubuh terhadap lingkungan ekstrem dapat menyebabkan keputusan yang keliru dan membahayakan.
"Wisatawan yang belum terbiasa dengan karakter gunung vulkanik bisa linglung bahkan halusinasi ketika terpapar sulfur atau saat berada di ketinggian dengan oksigen tipis," urainya.
Aktivitas pendakian menurut Prof. Baiquni bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga kemampuan mengelola ego dan emosi.