KOMPAS.com - Katanya, pendidikan tak lengkap jika hanya melibatkan pengembangan akademik saja. Perlu ada penanaman karakter yang tidak lepas dari pengembangan diri untuk masa depan.
Berkaca dari kejadian yang menimpa Indonesia beberapa hari silam, seorang Co-Founder @empower_id sekaligus Tenaga Ahli di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Khansa Khalisha (26), berpendapat soal kaitannya dengan pendidikan Indonesia.
Menurutnya, pendidikan akan gagal jika tak mengajarkan empati sebab kecerdasan bisa saja berubah jadi arogansi. Hal ini diungkap melalui tulisan pribadinya di Instagram @kklisha.
Baca juga: 12 Karakter Sukses yang Harus Dimiliki Mahasiswa agar Mampu Bersaing di Dunia Kerja
“Aku melihat sendiri bagaimana beberapa pejabat publik yang seharusnya jadi representasi moral dan intelektual masyarakat justru bertindak dengan cara yang sangat minim empati, terutama di tengah situasi-situasi krisis,” jelasnya kepada KOMPAS.com, Jumat (5/9/2024).
Khansa menulisnya dari refleksi dan kekecewaan atas ketimpangan, menganggapnya sebagai jeritan hati segenap warga Indonesia yang rindu pemimpin bijak dan berempati.
Tanpa adanya pengajaran soal empati, kita akan kehilangan arah akan kepekaan dan kesadaran sosial. Tidak ada lem yang menyatukan logika dengan nurani, serta pengetahuan dan kebijaksanaan.
“Coba bayangin seorang pemimpin membuat kebijakan pendidikan tanpa empati, yang terjadi adalah data tanpa konteks, solusi yang tak menyentuh akar masalah,” ujar Khansa.
Baca juga: Mahasiswa Diundang ke Istana Negara, Minta 17+8 Tuntutan Rakyat Diselesaikan
Menurutnya, adanya empati akan membantu seseorang untuk mengatasi situasi dan mengambil keputusan. Misalnya dari skala personal antar keluarga dan teman, hingga nasional yang menyangkut publik.
Terdapat dua cara bagi kamu untuk mulai mengasah empati. Kamu bisa coba eksplorasi kehidupan di luar zona nyaman dan aman. Dengan paparan dari berbagai pengalaman, kamu bisa mengembangkan empati.
“Kita perlu lebih banyak ruang di pendidikan formal dan non-formal yang membawa kita bersentuhan dengan cerita-cerita yang berbeda dari kita,” imbuh Khansa.
Kemudian, coba untuk mendengar orang secara utuh ketika mereka bercerita. Bagi Khansa, hal ini sangat sederhana tapi sulit dilakukan karena kita lebih sering menjawab, bukan memahami kisah mereka.
Baca juga: 4 Cara Kembangkan Sikap Kepemimpinan pada Anak Usia Dini
Perempuan lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Harvard itu mengungkap bahwa gelar, sekolah, dan nilai yang bagus bukan berarti sudah sempurna. Pendidikan bukan soal itu saja, melainkan bagaimana ia menciptakan ruang yang adil bagi semua, membebaskan seseorang untuk berpikir kritis, serta memanusiakan manusia.
Menurutnya, perlu ada perancangan ulang terhadap pendidikan Indonesia agar masyarakat bisa lebih memahami apa yang mereka sebut sebagai “belajar”. Lebih jauh, tentu untuk memahami pula dunia dan kita sebagai manusia-manusia di dalamnya.
“Sayangnya, di sistem kita hari ini, pendidikan masih sangat berorientasi pada hasil, bukan proses. Kita lebih sering menghafal daripada memahami, lebih sibuk mengejar ranking daripada bertanya: ‘apa yang sebenarnya ingin aku pelajari?’” ucapnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini