SETIAP tanggal 27 Mei, Indonesia memperingati Hari Jamu Nasional, momentum penting untuk merevitalisasi “Jamu Nusantara” sebagai warisan budaya sekaligus kekuatan ekonomi rakyat.
Peringatan ini pertama kali dicanangkan pada 2008, oleh Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai upaya melestarikan kearifan lokal dan mempromosikan gaya hidup sehat berbasis jamu.
Penetapan Hari Jamu Nasional bertujuan mengangkat kembali eksistensi jamu Indonesia yang sempat memudar, serta menjadikannya sebagai produk unggulan nasional.
Ramuan jamu, sebagai minuman herbal tradisional, telah menjadi bagian integral dari budaya Indonesia sejak berabad-abad lalu.
Selama periode kolonial, masyarakat suku Jawa mengumpulkan resep jamu yang dikenal sebagai Serat atau Primbon, seperti Serat Centhini dan Serat Kawruh Bab "Jampi-Jampi".
Baca juga: Menguatkan Posisi Teh Indonesia di Pasar Global
Tradisi ini menunjukkan bahwa jamu nusantara bukan sekadar ramuan kesehatan, tetapi juga bagian dari sistem pengetahuan dan spiritualitas masyarakat Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, seminar tentang jamu mulai diselenggarakan, dan Panitia Jamu Indonesia dibentuk untuk menilai dan mengembangkan resep jamu secara ilmiah.
Pengakuan internasional terhadap jamu sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO pada Desember 2023 memperkuat posisinya di panggung global.
Penetapan ini merupakan hasil dari upaya bersama komunitas lokal, pemerintah, dan berbagai pemangku kepentingan dalam melestarikan budaya sehat jamu serta berkontribusi terhadap kesehatan dan kesejahteraan global.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa volume ekspor tanaman obat, aromatik, dan rempah Indonesia pada 2023 mencapai 289.390 ton, naik dari 274.610 ton di 2022.
Nilai ekspor sempat mencatatkan rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir pada 2021 sebesar 765,67 juta dollar AS (setara Rp 13 triliun).
Namun, nilai ekspor jamu Indonesia pada 2021 tercatat hanya sekitar 41,5 juta dollar AS (sekitar Rp 700 miliar).
Kontribusi jamu Indonesia terhadap pasar obat bahan alam dunia masih rendah, yakni hanya sekitar 0,8 persen dari total pasar global yang diperkirakan mencapai Rp 1.936,9 triliun.
Untuk meningkatkan daya saing dan pangsa di pasar global, diperlukan diversifikasi produk, peningkatan kualitas, serta perluasan akses pasar internasional melalui inovasi seperti pengembangan jamu dalam kemasan modern dan siap konsumsi, didukung sertifikasi dan standarisasi internasional untuk menjamin keamanan serta efektivitas produk.
Selain itu, perluasan pasar harus diiringi promosi yang lebih agresif dan pembukaan jalur distribusi ke negara-negara dengan permintaan tinggi terhadap produk herbal.