DENPASAR, KOMPAS.com - Memasuki Balerung Mandera Srinertya Waditra di Banjar Teruna Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar, langsung terasa nuansa seni tradisi Bali.
Beberapa barung gamelan tertata rapi, disimpan begitu apik oleh pemiliknya.
Di sanalah Anak Agung Oka Dalem meneruskan legasi sang ayah, Anak Agung Gde Ngurah Mandera, Maestro Legong dan Kebyar Peliatan.
Baca juga: Kecanduan Judi Online, Pria Ini Bobol 6 Minimarket di Bali
Tak hanya melanjutkan warisan sang maestro, namun Agung Oka juga mendidik generasi penerus dalam menekuni seni dan tradisi Bali, khususnya Legong dan Kebyar Peliatan.
Usia Agung Oka kini telah menginjak 72 tahun.
Namun begitu mengikuti irama gamelan, tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya seketika seakan kembali muda dan energik.
Apa yang kini dilakoni Agung Oka, cerminan sang ayah.
Sebelum berpulang pada tahun 1986, di usia senjanya, Agung Mandera masih aktif berkesenian. Bahkan sampai ke luar negeri.
"Ayah sudah menekuni tari sejak kecil. Pada tahun 1931, sudah mewakili pemerintah ke Paris Expo. Beliau adalah pionir untuk Legong dan Kebyar Peliatan," tutur Agung Oka, Senin (2/5/2025).
Baca juga: WN Australia Dideportasi, Pakai Visa Turis untuk Kerja Memasarkan Vila di Bali
Legong Peliatan memiliki peranan sangat penting dalam kesenian Bali.
Agung Oka menyampaikan, sedari awal hingga saat ini, mereka masih mempertahankan pakem yang sama.
Seandainya pun ada penyesuaian, tidak lah signifikan.
"Di sini ada kontinuitas dan keberlanjutan. Tidak pernah putus. Terus berlanjut. Sekarang kami yang melanjutkan dari generasi ke generasi sehingga ada ciri khas dari yang lain," ucap Gung Oka, sembari sesekali memperagakan Legong khas Peliatan.
Baca juga: Gubernur Koster: 400 Biro Perjalanan dan Sewa Mobil Dikuasai Warga Asing tapi Tak Berkantor di Bali
Menurut Agung Oka, gerakan Legong Peliatan, agemnya lebih cengked.
Dagu diangkat empat jari.