LUANDA, KOMPAS.com - Sebanyak dua momen tragis membekas kuat dalam ingatan Julio Candero, aktivis hak asasi manusia asal Angola: Gambar seorang perempuan tertembak dari belakang oleh polisi, serta teriakan temos fome atau “kami lapar” dari para demonstran.
Kedua peristiwa itu mencerminkan puncak kemarahan rakyat Angola terhadap pemerintah, yang mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan ini memicu demonstrasi besar-besaran yang pecah sejak awal Juli 2025.
Dikutip dari Al Jazeera, Selasa (5/8/2025), aksi protes bermula dari pengumuman pemerintah mengenai kenaikan harga solar sebesar 33 persen.
Baca juga: Rudal Iran Lolos Lagi, Hantam Kilang Minyak Israel
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari paket penghematan fiskal, yang disusun menyusul desakan Dana Moneter Internasional (IMF) agar Angola memangkas pengeluaran, termasuk subsidi BBM.
Demonstrasi awalnya berlangsung damai pada 12 Juli 2025, tetapi ketegangan meningkat setelah asosiasi sopir taksi melancarkan mogok nasional selama tiga hari.
Aksi kemudian berubah menjadi kerusuhan di berbagai kota besar, dengan pembakaran ban dan penjarahan toko.
Pemerintah melaporkan sedikitnya 22 orang tewas dalam bentrokan antara massa dan polisi. Sebanyak 197 orang terluka, sedangkan lebih dari 1.200 orang ditangkap.
“Ini salah satu kerusuhan terburuk sejak kudeta 1977 dan kekerasan pasca-pemilu 1992,” kata Candero, yang kini menjabat sebagai Direktur LSM Mosaiko.
Ketegangan mulai mereda di Ibu Kota Luanda dan sejumlah wilayah lain. Meski begitu, suasana belum sepenuhnya pulih.
Aparat bersenjata lengkap masih berjaga di sejumlah titik, sedangkan puing-puing kendaraan dan bangunan yang terbakar menjadi saksi bisu amarah warga.
“Luanda perlahan kembali ke ritme biasanya, tapi jelas ini adalah kota yang berbeda. Di mana-mana ada jejak dari apa yang terjadi,” ucap Candero.
Baca juga: Presiden Ghana Minta Perusahaan Global Keruk Minyak di Negaranya Sebelum Tak Bernilai
Kondisi fiskal Angola diperparah dengan penurunan harga minyak Brent yang jatuh di bawah 60 dollar AS per barel pada April, sedangkan anggaran 2025 disusun dengan asumsi harga 70 dollar AS per barel.
Menurut Menteri Koordinasi Ekonomi Jose de Lima Massano, subsidi BBM tahun lalu mencapai 3 miliar dollar AS (sekitar Rp 48 triliun). Anggaran tersebut setara dengan dana untuk 1.400 proyek pembangunan, tetapi karena keterbatasan fiskal, sekitar 500 proyek terpaksa ditunda.
Carlos Rosado de Carvalho, profesor ekonomi di Universitas Katolik Angola, menyebut pencabutan subsidi sebagai keputusan yang terpaksa, meskipun waktunya sangat tidak tepat.