NEW DELHI, KOMPAS.com - Seorang insinyur perangkat lunak asal India, Amrutha Tamanam, terpaksa mempercepat kepulangannya ke Amerika Serikat setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan baru terkait visa kerja H-1B.
Dalam pernyataannya, Trump menyebut akan ada biaya baru sebesar 100.000 dolar AS (sekitar Rp 1,6 miliar) untuk aplikasi visa H-1B.
Pengumuman itu langsung memicu kepanikan di kalangan pekerja migran, termasuk Tamanam, yang telah tinggal di AS selama satu dekade.
Baca juga: Perketat Imigrasi, Trump Akan Kenai Biaya Visa H-1B Rp 1,6 Miliar
Namun, saat berusaha memesan tiket dari India, Tamanam menghadapi kendala tak terduga: Sistem pemesanan tiket maskapai terganggu akibat kampanye daring bernama “sumbat toilet”.
Kampanye ini digerakkan oleh pengguna forum sayap kanan ekstrem di platform 4chan. Mereka mendorong sesama pengguna untuk memesan kursi penerbangan dari India ke AS secara massal tanpa menyelesaikan pembayaran, guna mengosongkan ketersediaan kursi bagi penumpang sungguhan.
“Orang India baru saja tersadar setelah berita H-1B. Ingin mempertahankan mereka di India? Matikan sistem reservasi penerbangan!” tulis salah satu unggahan yang tersebar di Telegram dan forum daring lainnya.
Beberapa pengguna bahkan mengeklaim berhasil memblokir lebih dari 100 kursi di rute populer seperti Delhi–Newark.
Meski demikian, pihak Air India membantah adanya gangguan pada sistem mereka. “Sistem reservasi berjalan normal,” ujar juru bicara maskapai itu.
Baca juga: Ikut Aksi Protes Pro-Palestina di New York, AS Cabut Visa Presiden Kolombia
Ilustrasi bandara.Ia akhirnya berhasil mendapatkan satu tiket sekali jalan menuju Dallas, Texas, dengan harga 2.000 dolar AS (sekitar Rp 33 juta)—lebih dari dua kali lipat harga tiket pulang-pergi biasa.
“Sulit bagi saya untuk memesan tiket dan saya membayar ongkos yang sangat mahal untuk perjalanan panik itu,” kata Tamanam dalam wawancara dengan AFP.
Menurut Gedung Putih, kebijakan biaya visa H-1B yang baru hanya berlaku bagi aplikasi visa yang diajukan setelah peraturan diberlakukan. Pemegang visa saat ini tidak terkena dampaknya.
Namun, sejumlah perusahaan teknologi di AS telah meminta karyawan mereka yang masih berada di luar negeri untuk segera kembali guna menghindari potensi hambatan administrasi.
Heidi Beirich, pendiri organisasi Global Project Against Hate and Extremism, menyebut bahwa kampanye “sumbat toilet” bertujuan menciptakan kepanikan di kalangan pemegang visa kerja.
“Trolling tersebut merupakan upaya untuk menimbulkan kepanikan di antara pemegang visa H-1B,” ujarnya.