Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Untuk lebih memahami mengapa siswa tunanetra SLB Pajajaran mengalami kesulitan beradaptasi, kita dapat merujuk pada Teori Model Sosial Disabilitas, yang dikemukakan oleh Mike Oliver.
Teori ini menyatakan bahwa disabilitas bukan hanya keterbatasan fisik atau medis dari individu, tetapi lebih merupakan produk dari hambatan-hambatan yang diciptakan oleh lingkungan dan struktur sosial yang ada (P2K Stekom, 2025).
Dalam hal ini, siswa-siswa tunanetra menghadapi hambatan lingkungan yang signifikan di SLB Cicendo, di mana mereka harus berusaha keras untuk beradaptasi dengan ruang yang tidak disiapkan untuk mendukung mereka.
Menurut Model Sosial Disabilitas, disabilitas muncul ketika struktur sosial dan lingkungan tidak mendukung kebutuhan individu yang memiliki keterbatasan fisik atau mental.
Dalam kasus siswa SLB Pajajaran, relokasi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan spesifik siswa tunanetra justru menciptakan disabilitas baru, berupa kesulitan orientasi dan penyesuaian dengan ruang yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Jika lingkungan lebih dipersiapkan dengan fasilitas yang ramah difabel, maka hambatan-hambatan ini bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Mendesaknya Sistem Pendukung dan Lingkungan Adaptif
Pendidikan inklusif yang efektif memerlukan lebih dari sekadar menyediakan ruang kelas yang bisa diakses oleh semua siswa.
Untuk memastikan bahwa semua siswa dapat belajar dengan optimal, pendidikan harus menciptakan sistem pendukung yang komprehensif dan lingkungan yang adaptif.
Penelitian menunjukkan bahwa siswa tunanetra dapat mengalami kesulitan besar dalam belajar jika lingkungan fisik dan sosial tidak mendukung mereka (Scribd, 2025).
Oleh karena itu, penting bagi setiap sekolah untuk mengimplementasikan sistem pendukung yang tidak hanya mencakup aksesibilitas fisik, tetapi juga dukungan emosional dan psikologis, serta pelatihan yang memadai bagi pendidik dalam menghadapi kebutuhan siswa difabel.
Sistem pendidikan inklusif harus mampu mengakomodasi kebutuhan berbagai kelompok siswa, termasuk mereka yang memiliki gangguan penglihatan.
Fasilitas yang mendukung seperti panduan audio, teknologi bantu, dan pendampingan emosional sangat penting untuk memastikan bahwa siswa difabel bisa berpartisipasi secara penuh dalam proses belajar.
Guru dan tenaga pendidik juga perlu dilatih agar mereka bisa menangani kebutuhan khusus yang mungkin dimiliki oleh siswa difabel dengan cara yang efektif dan empatik.
Wujudkan Pendidikan Adil dan Merata untuk Semua
Membangun sistem pendidikan yang ramah difabel memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, sekolah, guru, maupun masyarakat.
Pendidikan inklusif seharusnya berlandaskan pada prinsip bahwa setiap orang, tanpa pengecualian, berhak memperoleh pendidikan yang bermutu.
Pendidikan tersebut tidak hanya memberikan akses fisik ke ruang kelas, tetapi juga menghilangkan segala hambatan lingkungan yang dapat menghalangi potensi mereka untuk berkembang.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Menumbuhkan Pendidikan Inklusif Tanpa Hambatan Bagi Difabel"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.