KOMPAS.com — Pemanfaatan satelit Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dilaporkan telah menurunkan emisi karbon dan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebesar 30,8 persen pada 2023, dibandingkan kondisi 2019 saat terjadi El Nino.
Capaian ini tercantum dalam laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Geoinformatika BRIN, Parwati, menjelaskan bahwa karhutla merupakan masalah global dengan dampak luas dari kerusakan ekologis, kerugian ekonomi, hingga gangguan kesehatan.
“Kebakaran hutan dan lahan masih menjadi salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca nasional,” ujar Parwati dalam keterangan tertulis dilaman BRIN, Jumat (18/7/2025).
Oleh sebab itu, Parwati dan tim mengembangkan model pemantauan karhutla berbasis satelit dalam upaya menjawab keterbatasan pengamatan langsung di lapangan.
Menurutnya, pendekatan ini mendukung kebijakan berbasis data dan upaya pengurangan emisi yang lebih efektif.
“Teknologi satelit memiliki keunggulan dalam observasi spasial, temporal, dan spektral,” tambah Parwati.
Baca juga: Dampak Jangka Panjang Kebakaran Hutan: Cemari Perairan Hingga 10 Tahun
Meskipun demikian, ia mengatakan bahwa tantangan tetap ada seperti seperti resolusi citra terbatas, gangguan awan atau keterbatasan deteksi api di lahan gambut.
Lebih jauh, Parwati menjelaskan bahwa strategi pemantauan karhutla ini mencakup tiga siklus, yaitu pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.
Pada tahap pra bencana, pemantauan difokuskan pada faktor cuaca. BRIN mengembangkan sistem peringatan dini berbasis kecerdasan buatan dengan akurasi 90 persen, mengintegrasikan parameter iklim, biofisik lahan, dan sosial ekonomi.
“Data curah hujan satelit dan indeks kekeringan juga digunakan untuk memprediksi risiko kebakaran,” ujar Parwati.
Saat tanggap darurat, pemantauan diarahkan pada deteksi titik api dan penjalaran api, terutama di lahan gambut.
Adapun, tahap pasca bencana fokus pada pemetaan lahan terbakar melalui indeks yang dipatenkan sejak 2020.
Parwati mengatakan bahwa metode ini tidak hanya menghitung luas lahan terbakar, tapi juga tingkat kerusakan, yang penting untuk menentukan prioritas rehabilitasi.
Menurut Parwati, sistem ini telah diadopsi sejak 2016, ketika masih dikembangkan oleh LAPAN sebelum melebur ke dalam BRIN. KLHK, BNPB, dan BMKG menjadi mitra implementasi di lapangan.
“Laporan KLHK 2024 menunjukkan bahwa mitigasi berbasis satelit ini berdampak nyata. Luas karhutla turun signifikan, 30,8 persen sejak 2015,” katanya.
Baca juga: Waspada Meningkatnya Kebakaran Hutan dan Lahan
Ia menambahkan, penurunan emisi turut berkontribusi pada turunnya peringkat emisi Indonesia di tingkat global.
“Teknologi ini bukan hanya soal mitigasi bencana, tapi juga menyelamatkan ekosistem dan biodiversitas kita,” ujar Parwati.
Ke depan, model ini masih dapat dikembangkan lebih lanjut dengan kecerdasan buatan dan sensor satelit generasi baru, guna mendukung pengelolaan karhutla yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya