KOMPAS.com – Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Jumat (15/8/2025), dinilai minim perhatian terhadap krisis iklim.
Isu iklim sama sekali absen dari pidato tersebut. Presiden justru lebih menonjolkan klaim pencapaian ekonomi yang disebut bertolak belakang dengan realitas di lapangan.
Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, menyebut isi pidato Prabowo masih jauh dari makna kemerdekaan sejati.
“Pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya tidak dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang paling terdampak krisis iklim,” ujar Jeanny, dikutip dari laman resmi Greenpeace Indonesia.
Hal senada disampaikan Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji. Ia menyesalkan masyarakat adat dan komunitas lokal tidak disebut sebagai komponen penting dalam penyelenggaraan negara, padahal mereka berada di garis depan dalam menjaga lingkungan.
“Selama ini masyarakat adat dan komunitas lokal sudah menjaga hutan, tanah, dan air di Indonesia. Hal tersebut adalah praktik konkret solusi terhadap krisis iklim yang seharusnya diadopsi oleh negara sebagai bentuk keseriusan pemerintah. Jangankan dilibatkan, diakui keberadaannya pun tidak,” tegas Sekar.
Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan ambisi untuk mencapai 100 persen pembangkit listrik energi baru terbarukan dalam 10 tahun. Namun, Greenpeace menilai arah kebijakan yang ada justru berlawanan.
Baca juga: Studi: Pajak Karbon Kadang Bukan untuk Iklim, Cuma Demi Cuan
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pada 2034 porsi energi terbarukan di sektor kelistrikan Indonesia hanya diproyeksikan 29 persen, masih jauh dari target penuh pada 2035. Ironisnya, di lima tahun pertama RUPTL justru terjadi penambahan masif Pembangkit Listrik Tenaga Gas sebesar 10,3 GW.
Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, memperingatkan langkah ini berpotensi mengunci sistem kelistrikan pada infrastruktur berbasis fosil.
“Ambisi 100 persen energi baru terbarukan akan sulit tercapai jika pemerintah masih membuka jalan bagi pembangunan pembangkit berbasis fosil. Padahal, untuk mengejar ambisi ini, pemerintah harus segera fokus pada pembangunan pembangkit listrik terbarukan,” kata Iqbal.
Di tengah perayaan HUT Kemerdekaan, Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah menempatkan keadilan iklim sebagai landasan utama kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional.
Keadilan iklim, menurut Greenpeace, berarti memastikan setiap orang dapat menikmati kemerdekaan sejati, hidup layak tanpa kehilangan tanah, udara bersih, atau sumber air akibat eksploitasi. Prinsip ini juga menuntut perlindungan hutan, lautan, dan masyarakat adat sebagai prioritas, sekaligus menjamin transisi energi yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: ICJ Akui Krisis Iklim sebagai Isu HAM, Tapi Abaikan Hak Anak
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya