SIAPAPUN yang melihat Papua hanya sebagai ujung peta akan terjebak dalam kedangkalan menilainya sebatas sebagai beban pembangunan.
Namun, siapa pun yang membaca Papua melalui data dan riset akan menyadari bahwa tanah ini adalah laboratorium alam dan kebudayaan, sekaligus ujian paling dalam atas mutu kenegarawanan kita.
Dan di situlah letak persoalannya, sebab hingga kini kita ternyata masih memandang Papua dengan cara keliru.
Papua menyimpan salah satu mozaik ekologi paling menakjubkan di muka bumi. Taman Nasional Lorentz, misalnya, diakui UNESCO sebagai kawasan lindung terbesar di Asia Tenggara dengan luas sekitar 2,35 juta hektare.
Kawasan ini menjadi warisan dunia karena memuat ekosistem lengkap, mulai dari pantai, rawa, hutan hujan dataran rendah, pegunungan, tundra alpina, hingga gletser tropis di Puncak Jaya.
Data konservasi menunjukkan Taman Nasional Lorentz menjadi habitat lebih dari 123 spesies mamalia yang mewakili 80 persen jenis mamalia di Tanah Papua, serta ribuan spesies tumbuhan endemik.
Di kawasan inilah burung Cenderawasih, Kasuari, hingga Kanguru pohon hidup berdampingan dalam satu bentang utuh, bukti bahwa Papua adalah bank keanekaragaman hayati yang nilainya setara dengan kawasan tropis terpenting dunia. Ia adalah bank penyangga kehidupan yang tidak memiliki padanan di wilayah lain di Indonesia (whc.unesco.org, 2025).
Beranjak ke laut, Lanskap Kepala Burung atau Semenanjung Doberai oleh para biolog disebut sebagai super hotspot keanekaragaman.
Baca juga: Pesan dari Pati: Jangan Pernah Menantang Rakyat
Jaringan kawasan konservasi laut di sini mencakup lebih dari 20 lokasi dengan luas gabungan sekitar 3,6 juta hektare, termasuk Raja Ampat, Teluk Cenderawasih, Kaimana, dan Fakfak.
Survei The Nature Conservancy dan Conservation International mencatat Raja Ampat memiliki lebih dari 600 spesies karang keras atau sekitar 75 persen dari total dunia, serta lebih dari 1.800 spesies ikan karang.
Publikasi di Marine Pollution Bulletin bahkan mengonfirmasi bahwa keanekaragaman ikan karang di Raja Ampat adalah yang tertinggi di dunia.
Fakta ini menunjukkan bahwa biodiversitas laut Papua bernilai strategis global, terlalu penting bila hanya direduksi sebagai sebuah objek wisata (nature.org, 2024).
Kekayaan mineral menambah bobot strategis Papua. Grasberg yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai salah satu tambang tembaga dan emas terbesar dunia, kini menjadi episentrum dinamika hilirisasi Indonesia.
Dampaknya langsung terasa pada arus ekspor konsentrat dan investasi smelter.
Data dari United States Geological Survey menempatkan Indonesia sebagai produsen tembaga utama dunia, dengan kontribusi terbesar justru berasal dari Grasberg di Papua.
Pada 2024, pemerintah mengeluarkan izin ekspor bagi Freeport untuk mengirim ratusan ribu ton konsentrat tembaga, angka yang berpengaruh pada dinamika pasar global.
Dengan kata lain, tembaga dan emas dari Papua bukan hanya komoditas lokal, melainkan bagian dari rantai pasok industri dunia yang menentukan harga, biaya olah, dan investasi di berbagai negara.
Setiap kebijakan tentang Papua berhubungan langsung dengan posisi Indonesia dalam ekonomi mineral internasional (U.S. Geological Survey, 2025).
Papua juga merupakan jantung protein masa depan. Perairan Arafura memiliki potensi lestari perikanan pelagis kecil sekitar 468.000 ton per tahun, dengan dominasi famili clupeidae dan carangidae.
Kajian lain menambahkan potensi lestari udang, cumi, dan lobster di Arafura yang mencapai ratusan ribu ton per tahun.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menegaskan bahwa perairan ini adalah salah satu lumbung perikanan nasional.
Namun laporan juga menunjukkan praktik penangkapan ikan ilegal serta lemahnya pencatatan logbook kapal, mengindikasikan kebocoran hasil laut dalam jumlah besar.
Riset tentang pengelolaan demersal menegaskan pentingnya rezim penangkapan optimal berbasis bioekonomi serta efek kebijakan moratorium kapal asing terhadap rente ekonomi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya