JAKARTA, KOMPAS.com - Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati Drwiega, mengungkapkan sebagian besar masyarakat telah terpapar mikroplastik. Dia mencatat, Indonesia termasuk konsumen mikroplastik per kapita tertinggi di dunia.
Namun, pemerintah dan industri masih kerap menyebutkan bahwa penggunaan plastik per kapita kita masih rendah, hanya 22 kilogram per orang per tahun.
"Masalahnya kita sekarang saja sudah paling tinggi di dunia, jadi mau harus sampai berapa. Plastik di dalam botol, misalnya, bahan kimianya bisa berpindah ke air," kata Yuyun dalam webinar, Kamis (21/8/2025).
Baca juga: Tahun Ini, Menteri LH Wajibkan Produsen Kelola Sampah Plastik Sendiri
Mikroplastik berdampak pada kesehatan manusia. Kontaminasinya dimulai dari makanan atau minuman hingga kontak mikroplastik pada kulit.
Saat ini jumlah zat kimia dalam plastik mencapai 16.000, dengan 2.000 tambahan bahan kimia setiap tahun. Yuyun menyampaikan, dari jumlah itu baru 1 persen yang diuji atau diamati tingkat bahayanya.
"Hanya sekitar 1 persen yang sudah masuk di dalam konvensi Montreal Protocol, Minamata Convention, Stockholm Convention. Jadi hanya 1 persen dari bahan kimia ini sudah diatur, dan 99 persen sebetulnya out of control atau tidak diatur," papar dia.
Berdasarkan penelitian, bahan kimia plastik berisiko memengaruhi metabolisme dan cara kerja hormon endokrin pada laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Dampaknya antara lain pada kesehatan reproduksi dan peningkatan kasus kanker.
"Studi menunjukkan bahwa 50 tahun terakhir ada penurunan tingkat fertilitas laki-laki. Sehingga dari perhitungan, tahun 2045 kesehatan reproduksi laki-laki akan menurun bahkan mendekati nol," ucap Yuyun.
Ia pun mewanti-wanti bahaya daur ulang plastik hitam. Sebab, proses produksinya berasal dari daur ulang berulang yang bercampur bahan kimia tambahan.
Plastik dapat terdegradasi menjadi mikroplastik yang masuk ke tubuh anak-anak, bahkan sudah terdeteksi dalam air liur bayi melalui mainan.
Baca juga: Plastik Rusak Lingkungan, tapi Subsidinya Diprediksi Naik 150 Miliar Dollar AS
Yuyun merekomendasikan agar pemerintah global memastikan adanya kontrol yang mengikat secara hukum terkait plastik, mengendalikan dan mengurangi produksi, menghilangkan bahan kimia beracun pada produksi plastik, hingga meningkatkan kapasitas kesehatan.
Direktur Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, mengungkapkan plastik menyumbang 15 persen dari total emisi global. Ironisnya, meski dunia tengah berupaya menekan emisi, konsumsi plastik justru diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya.
"Persoalan pelaku utama dari emisi terbesar di dunia ini berasal dari ekstrasi sumber daya fosil, terutama petroleum and gas salah satunya. Dan mereka enggak mau berubah," ucap Torry.
Industri plastik bergantung pada ekstraksi fosil, lantaran hampir semua jenisnya dibuat dari turunan minyak bumi dan gas alam. Sehingga, apabila ekstraksi fosil berhenti maka produksi plastik bakal turun drastis.
Menurut Torry, perusahaan minyak dan gas saat ini mulai mengalihkan bisnisnya dari energi ke produk berbasis polimer seperti plastik. Akibatnya, kebutuhan barang konsumsi berbahan plastik melonjak kendati terjadi penurunan emisi di sektor transportasi.
Efek plastik terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) terjadi di semua tahapan mulai dari ekstraksi minyak bumi dan gas, proses penyulingan, penggunaan energi saat produksi, hingga menjadi limbah.
Baca juga: Tahun Ini, Menteri LH Wajibkan Produsen Kelola Sampah Plastik Sendiri
"Ketika plastik dibuang di alam, akan menghasilkan emisi juga bahkan lebih berbahaya, karena menurut beberapa riset menunjukkan bahwa ada proses-proses penguraian yang tidak sempurna lalu menjadi bahan beracun," kata dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya