KOMPAS.com - Upaya menyusun perjanjian global untuk mengatasi polusi plastik kembali menemui jalan buntu.
Setelah bertahun-tahun bekerja dan enam putaran negosiasi formal, perundingan yang berlangsung di Jenewa berakhir tanpa kesepakatan.
Meskipun delegasi dari 185 negara bekerja melampaui batas, namun kesenjangan antara dua pihak yang berlawanan ternyata terlalu lebar untuk menghasilkan kesepakatan.
Negosiasi kali ini, yang dianggap sebagai kesempatan terakhir setelah kegagalan serupa di Korea Selatan tahun lalu, seharusnya menjadi momen penting. Namun, yang terjadi justru sama saja.
Melansir Earth, Kamis (21/8/2025) perpecahan utamanya jelas. Satu kelompok, yang dikenal sebagai High Ambition Coalition, terdiri dari negara-negara seperti Kanada, Inggris, dan anggota Uni Eropa.
Mereka mendorong adanya pembatasan produksi plastik dan penghapusan bertahap bahan kimia berbahaya yang digunakan dalam plastik.
Baca juga: Plastik Sumbang 15 Persen Emisi Global, dan Konsumsinya Diprediksi Melonjak
Di sisi lain, negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam Like-Minded Group termasuk di dalamnya adalah Arab Saudi, Iran, Rusia, Kuwait, dan Malaysia menginginkan perjanjian yang hanya berfokus pada pengelolaan limbah, bukan pemotongan produksi.
Negara-negara ini berpendapat bahwa menargetkan produksi akan merugikan negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alam.
Kesepakatan yang tak tercapai ini membuat beberapa pihak kecewa, salah satunya adalah Menteri Transisi Ekologis Prancis, Agnes Pannier-Runacher, yang dengan blak-blakan mengungkapkan rasa kecewa dan kemarahannya.
"Sekelompok kecil negara, yang hanya mementingkan keuntungan finansial jangka pendek, telah memblokir disahkannya perjanjian yang ambisius. Negara-negara penghasil minyak dan para pendukungnya telah memilih untuk mengabaikan masalah ini," katanya.
Negara Tuvalu, yang berbicara atas nama 14 negara kepulauan Pasifik, juga menyuarakan rasa frustasi yang mendalam.
"Tanpa kerja sama global dan tindakan dari negara-negara, jutaan ton sampah plastik akan terus dibuang ke lautan kita, yang memengaruhi ekosistem, ketahanan pangan, mata pencaharian, dan budaya kami," kata perwakilan mereka.
Usai jalan buntu perundingan plastik global ini, tidak ada yang yakin dengan apa yang terjadi selanjutnya.
Beberapa negara menyerukan perundingan berikutnya. Namun apakah negara-negara akan kembali berunding atau tidak akan bergantung pada tekanan politik, pergeseran aliansi, dan meningkatnya biaya akibat tidak adanya tindakan.
Baca juga: Bahaya di Balik Plastik yang Jadi Andalan, Ada Risiko Kanker hingga Fertilitas
Lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi secara global setiap tahun. Separuhnya digunakan sekali dan dibuang.
Hanya 15 persen sampah plastik yang dikumpulkan untuk didaur ulang. Dari jumlah tersebut, hanya 9 persen yang benar-benar didaur ulang.
Hampir separuhnya langsung berakhir di tempat pembuangan akhir. Sementara 17 persen lainnya dibakar dan 22 persen sisanya mencemari lanskap, lautan, dan saluran air.
Mikroplastik kini telah ditemukan di Gunung Everest dan di Palung Mariana. Mereka ada di paru-paru, darah, dan makanan kita.
Dan masalahnya bisa semakin parah. Menurut Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) , produksi plastik dapat meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2060, mencapai 1,2 miliar ton per tahun. Sampah plastik diperkirakan akan mencapai lebih dari satu miliar ton.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya