JAKARTA, KOMPAS.com - Tropenbos Indonesia mengembangkan bisnis berkelanjutan dalam program agroforestri karet di Kecamatan Simpang Dua, Kalimantan Barat.
Sebelum tahun 2010, empat dari tujuh desa di Kecamatan Simpang Dua — yang berada di bawah hutan Gunung Juring — banyak tumbuh pohon karet.
Namun, setelah tahun 2010, penduduk desa mulai beralih ke sawit seiring dengan penurunan harga karet.
"Karet tadi (jadi) terancam penyakit dan sebagainya. Karena skala sawit semakin besar juga yang biasanya menjadi buruh di situ, dia enggak punya waktu untuk menyadap karet ya," ujar Direktur Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto di kantor Kompas.com, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
Baca juga: Bappenas: Keanekaragaman Hayati di Sumatera Terancam Perkebunan, Sulawesi oleh Tambang
Menurut Edi, sebagai jasa lingkungan, agroforestri karena lebih bagus daripada sawit. Maka, Tropenbos mencoba mempengaruhi penduduk di empat desa di Kecamatan Simpang Dua untuk kembali menggerakkan perekonomian melalui karet.
Tropenbos Indonesia membuat pelatihan dengan sekolah lapang, yang mengajarkan bagaimana mengolah dan memelihara karet dengan baik. Tropenbos Indonesia juga mengembangkan bibit karet baru.
Tropenbos Indonesia membentuk kelompok-kelompok tani serta Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) usai penduduk desa kembali tertarik dengan karet.
"(Kemudian), kami kasih dana sebagai awal (usaha dengan) membeli produk karet masyarakat. Lalu, mereka memasarkan ke suatu perusahaan di Kalbar, dan dibayar dengan harga lebih bagus. Dari situ, pendapatan mereka meningkat 30 persen petani karet tadi," tutur Edi.
Kenaikan pendapatan mendorong penduduk desa lain beralih dari buruh sawit ke petani karet. Bahkan, kata dia, ada orang yang keluar dari perusahaan perkebunan sawit untuk kembali menjadi petani karet.
Baca juga: Adena Coffee Berbagi Strategi Bangun Kopi Berkelanjutan dari Kebun
Tropenbos Indonesia membina 101 orang petani karet yang sekarang sudah terampil. UPPB yang tadinya hanya organisasi biasa, kata dia, saat ini sudah menjadi koperasi.
"Awal kami masuk itu tahun 2000. Tahun 2001 bikin sekolah lapangan dan pada 2002 bikin UPPB. Tahun 2003 itu sudah ada pemasaran karet pertama. Sekarang sudah pemasaran yang ke-20," ucapnya.
Selain karet, Tropenbos Indonesia mengembangkan kopi di Desa Podorukun, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara. Di antarnya, kopi liberika yang tumbuh di atas tanah bercampur gambut, robusta, dan beberapa varian kopi lainnya.
Kopi liberika pernah berjaya pada 1980-1990-an dan mulai meredup tahun 2000-an. Bahkan, saat ini kopi liberika mendapatkan pengakuan internasional.
"Setelah melihat harga kopi mulai bagus. Banyak kafe dan warkop di Kalbar itu luar biasa. Ada rencana akan ke sana (didaftarkan indikasi geografisnya). Ya, karena itu kopi yang baru mulai kami kembangkan setelah ditinggalkan," ujar Edi.
Baca juga: Agroforestri Efektif Jaga Biodiversitas Hutan Tropis, Gambut, Pesisir
Tropenbos Indonesia juga mengembangkan buah tengkawang dan kepayang, serta ikan nila.
"Kalau nila, perikanan itu baru saja, baru setahun ini. Jadi, belum bisa kami ceritakan," tutur Edi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya