KOMPAS.com - Menjadi petani hari ini bukan lagi sekadar pilihan hidup, melainkan sebuah seni untuk bertahan.
Di Desa Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, wilayah yang lama dikenal lewat padi Rojolele, hal itu diwujudkan dalam Festival Mbok Sri (FMS).
Ajang tahunan yang digagas Sanggar Rojolele sejak 2017 ini tumbuh menjadi wadah perlawanan kultural, tempat petani dan masyarakat menyuarakan keresahan mereka di tengah arus industrialisasi, urbanisasi, hingga kebijakan yang tak berpihak.
Tahun ini, FMS memasuki edisi ke-8 dengan tema “Seni Bertahan Petani”, sebuah penegasan bahwa kehidupan petani bukan hanya soal menanam dan memanen, tapi juga bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi dan ketiadaan infrastruktur yang memadai.
Festival akan berlangsung pada 5–7 September 2025 di Delanggu.
“Pada setiap edisinya, FMS secara konsisten menyediakan ruang bagi seluruh unsur masyarakat untuk terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan festival, mulai dari perancangan program, instalasi dan dekorasi, pementasan hingga dapur umum. Kerja-kerja bersama ini merupakan upaya penguatan masyarakat akar rumput, sebuah manifestasi dari Seni Bertahan Petani,” jelas Eksan Hartanto, pendiri Sanggar Rojolele sekaligus Direktur FMS 2025.
Baca juga: Pakar UGM Sebut Perubahan Iklim Ancam Pola Hujan dan Pertanian Indonesia
Festival ini tidak berhenti pada simbol dan seremoni.
Tahun ini, rangkaian acaranya mencakup film dokumenter yang merekam kegusaran petani Delanggu, Jagongan Tani yang mempertemukan pemulia benih Rojolele Nursanto Herlambang dengan akademisi dan kelompok tani, workshop pangan lokal, fun dining experience yang mengeksplorasi khazanah kuliner, hingga pameran foto “Muter Kaya Rodha” di gang-gang kampung Delanggu.
Edisi sewindu ini juga ditandai dengan lahirnya Besalen Koripan, sebuah living museum hasil revitalisasi bangunan tua yang pernah menjadi pusat pandai besi sejak era Mataram Islam.
“Rekonstruksi sejarah metalurgi Koripan ternyata menunjukkan bahwa eksistensi para pandai besi ini memiliki peran yang juga penting sebagai penunjang ekosistem pertanian Delanggu sehingga rasanya mustahil untuk tidak mengintegrasikan keduanya,” ujar Dr. Muhammad Rustamadji SH. MH, Dekan Fakultas Hukum UNS.
Festival Mbok Sri dengan demikian bukan sekadar pesta budaya. Ia adalah cermin kegigihan, ruang kolektif yang menolak menyerah, sekaligus strategi bertahan di tengah dunia yang kian tak ramah bagi petani.
Baca juga: Vandana Shiva Dorong Pertanian Organik, Guru Besar IPB Ingatkan Risikonya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya