Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Emisi Karbon dari Inhaler Setara Emisi 530.000 Mobil

Kompas.com - 07/10/2025, 18:11 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Inhaler menjadi penanganan medis yang penting bagi penderita asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).

Namun siapa sangka, alat ini ternyata menimbulkan dampak lingkungan yang besar.

Temuan tersebut berdasarkan studi baru dari UCLA Health setelah menghitung emisi dari penggunaan inhaler di AS.

Para peneliti menemukan bahwa inhaler telah menghasilkan lebih dari 2 juta metrik ton emisi karbon setiap tahun selama dekade terakhir.

Jumlah ini setara dengan emisi dari sekitar 530.000 mobil berbahan bakar bensin di jalan setiap tahun.

Baca juga: Ketergantungan pada Energi Fosil Tingkatkan Risiko dan Biaya Kesehatan di RI

Penelitian yang dimuat dalam jurnal JAMA tersebut menguji emisi yang dihasilkan oleh tiga kategori inhaler yang digunakan untuk pasien asma atau PPOK selama periode 2014 sampai 2024.

Melansir Phys, Senin (6/10/2025) ditemukan bahwa inhaler dosis terukur (MDI) adalah jenis yang paling berbahaya bagi lingkungan, bertanggung jawab atas 98 persen total emisi dalam satu dekade.

Inhaler jenis ini mengandung propelan hidrofluoroalkana (HFA), yaitu gas rumah kaca yang sangat kuat yang dahulu lazim digunakan pada produk semprotan aerosol.

Jenis-jenis inhaler lain, seperti inhaler serbuk kering dan inhaler kabut lembut, dampak lingkungannya lebih kecil karena mekanisme kerjanya tidak membutuhkan zat pendorong (propellants) untuk mengirimkan obat ke paru-paru.

"Penggunaan inhaler meningkatkan beban emisi karbon pada sistem kesehatan AS, sehingga membahayakan banyak pasien yang mengidap penyakit pernapasan kronis," ungkap Dr. William Feldman, pulmonolog dan peneliti layanan kesehatan di UCLA.

Kabar baiknya, ada kesempatan untuk melakukan perubahan yang menguntungkan pasien sekaligus lingkungan, yaitu dengan menggunakan pilihan inhaler yang emisinya lebih rendah.

Untuk melakukan penelitian ini, para peneliti memanfaatkan basis data komprehensif di AS yang merekam resep inhaler hingga ke tingkat Kode Obat Nasional (NDC).

Baca juga: Studi: Pembakaran Bahan Bakar Fosil Ancam Kesehatan 1,6 Miliar Orang

Selanjutnya, perkiraan emisi dihitung dengan mengacu pada studi-studi akademik teruji dan dianalisis berdasarkan berbagai kategori, termasuk jenis obat, perangkat, propelan, kelas terapi, status merek, produsen, pihak pembayar, dan pengelola manfaat farmasi.

Para peneliti berencana untuk memperluas penelitian mereka untuk menguji emisi terkait inhaler pada populasi pasien tertentu.

Mereka juga akan membandingkan hasil klinis antara inhaler beremisi lebih rendah dan lebih tinggi dalam kelas terapi yang sama.

Selain itu, peneliti juga akan menganalisis strategi penetapan harga dan paten yang mungkin digunakan oleh perusahaan farmasi saat mereka meluncurkan teknologi inhaler beremisi lebih rendah.

Baca juga: BRIN: Perubahan Iklim Picu Peningkatan Sebaran Penyakit Menular

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau