KOMPAS.com – Di tengah laju elektrifikasi yang begitu pesat, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin rantai pasok nikel dan kobalt. Nikel sendiri tidak hanya menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV), tetapi juga bahan baku baja nirkarat (stainless steel) yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, cadangan nikel dunia mencapai 139,4 juta ton. Sebanyak 72 juta ton atau 52 persen di antaranya berada di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, 90 persen tersebar di kawasan timur Indonesia, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Untuk kobalt, Indonesia menjadi negara produsen kedua tertinggi setelah Republik Demokratik Kongo per 2024. Meski begitu, kobalt di Indonesia bukan merupakan hasil tambang secara langsung, melainkan produk turunan dari pengolahan bijih nikel limonit.
Baca juga: Tambang Ramah Lingkungan Jadi Tren, Ini Upaya Harita Nickel dan Dairi Prima Jaga Alam
Jika diolah secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, kekayaan sumber daya mineral tersebut bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Hanya, praktik pertambangan di Indonesia masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah (PR). Salah satunya adalah dampak negatif kegiatan tambang, baik secara sosial maupun lingkungan.
Penerapan praktik pertambangan bertanggung jawab (responsible mining) di Indonesia pun menjadi kebutuhan mendesak. Konsep ini berbeda dengan praktik pertambangan yang baik atau good mining practice (GMP) yang telah diatur oleh pemerintah.
Regulasi GMP terdapat pada Undang-Undang (UU) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang telah diubah sebanyak empat kali serta Peraturan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Baca juga: Menambang Kepercayaan dengan Audit Ketat IRMA: Strategi ESG Harita Nickel Menjawab Tuntutan Dunia
Sementara itu, praktik responsible mining masih belum diatur secara eksplisit.
Dalam kedua beleid tersebut, GMP lebih berfokus pada aspek teknis operasional pertambangan, seperti keselamatan kerja, efisiensi produksi, pemenuhan standar teknis, pengelolaan lingkungan, kesejahteraan masyarakat, dan tata kelola perusahaan.
Sementara itu, responsible mining memiliki cakupan yang lebih komprehensif dengan menempatkan prinsip dan etika pembangunan berkelanjutan sebagai prioritas utama. Dalam bahasa sederhana, cakupan responsible mining meliputi GMP dan kerangka kerja environment, social, and governance (ESG) sekaligus.
Dikutip dari The White Paper on Responsible Mining yang disusun International Association of Geoethics, responsible mining adalah aktivitas pertambangan yang secara nyata menghormati dan melindungi kepentingan semua pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat sekitar hingga lingkungan.
Baca juga: Demi Tembus Pasar AS dan Eropa, Harita Nickel (NCKL) Jalani Audit Terketat di Dunia
Masih dari sumber yang sama, responsible mining juga harus memberikan kontribusi nyata dan adil bagi negara penghasil mineral serta memberi manfaat kepada masyarakat setempat. Secara bersamaan, pertambangan menerapkan praktik terbaik internasional dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
Executive Director Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) Aimee Boulanger, sebagaimana dikutip dari tulisan “Menjunjung Etika di Tengah Booming Mineral Kritis” (2024), menjelaskan, responsible mining mengintegrasikan perlindungan lingkungan, keadilan sosial, dan kelayakan ekonomi dalam praktik pertambangan.
Perusahaan, lanjutnya, juga harus dapat meminimalisasi dampak lingkungan serta terus melibatkan masyarakat lokal dalam dialog dan kolaborasi bermakna.
Dari sisi negara, pemerintah perlu harus memainkan peran penting dalam menerapkan dan menegakkan peraturan yang memastikan akuntabilitas perusahaan pertambangan.
“Serta memastikan distribusi manfaat yang adil dari kegiatan pertambangan,” jelasnya.
Untuk memastikan sektor ekstraksi menjalankan responsible mining, dibutuhkan standar audit yang ketat. Salah satu acuan global yang menentukan pertambangan sudah menerapkan praktik responsible mining adalah IRMA Standard.
Masih dikutip dari tulisannya, Aimee menjelaskan, IRMA Standard merupakan standar sukarela internasional di sektor pertambangan yang dikembangkan dengan melibatkan partisipasi pemangku kepentingan secara luas, mulai dari masyarakat terdampak, serikat buruh, kelompok masyarakat sipil, perusahaan pertambangan, hingga investor.
IRMA Standard mengedepankan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau free, prior, and informed consent (FPIC). Pendekatan ini diambil untuk memastikan keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdampak sepanjang proyek pertambangan berlangsung secara berkelanjutan.
Baca juga: Komitmen Keberlanjutan, Harita Nickel Bakal Diaudit IRMA
Dengan demikian, hak, kekhawatiran, dan kepentingan masyarakat di sekitar tambang dihormati dan masuk dalam pengambilan keputusan.
IRMA Standard juga menekankan persetujuan eksplisit dari masyarakat adat sebelum aktivitas penambangan dimulai. Kemudian, juga mempertimbangkan masalah deforestasi serta potensi dampak penambangan terhadap hutan dan keanekaragaman hayati.
Adapun penilaian perusahaan tambang dilakukan oleh auditor pihak ketiga yang independen berdasarkan lebih dari 400 persyaratan dalam IRMA Standard.
Laporan penilaian IRMA Standard juga dipublikasikan secara terbuka, lengkap dengan penjelasan metodologi dan skor di setiap aspek. Asesmen ini belum pernah dilakukan di sektor pertambangan sebelumnya.
Baca juga: Harita Nickel Catat Kinerja Positif di Kuartal III 2024
Terlebih, Dewan IRMA yang menjamin IRMA Standard terdiri dari 12 orang yang berasal dari 6 sektor berbeda, yakni masyarakat terdampak, perusahaan pertambangan, serikat buruh, investor, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok pembeli.
“Sistem ini diterapkan untuk menjamin tidak ada sektor yang termaginalkan. Bila ada dua orang wakil dari sektor yang sama menolak keputusan yang didukung seluruh anggota dewan dari sektor-sektor lain, keputusan tersebut otomatis gugur,” jelasnya.
Karena itulah, IRMA Standard disebut-sebut sebagai sistem penilaian responsible mining paling ketat di dunia.
Di Indonesia, perusahaan pertama yang secara sukarela mengajukan audit IRMA adalah PT Trimegah Bangun Persada Tbk atau Harita Nickel. Proses ini diumumkan pada Oktober 2024 dan berlanjut ke desk audit pada Februari 2025.
Baca juga: Naik 25 Persen, Harita Nickel Catatkan Pendapatan Rp 12,80 Triliun di Semester I-2024
Kemudian, pada 15-23 April 2025 dilakukan tahap audit lapangan (on-site) di Pulau Obi oleh auditor independen SCS Global Services yang disetujui oleh IRMA.
Hasil audit akan dirilis sebagai laporan publik di situs IRMA. Laporan tersebut tidak hanya berisi skor kepatuhan atas lebih dari 400 kriteria ESG, tetapi juga penjelasan metodologi audit serta alasan di balik skor yang diberikan.
“Dengan mengajukan diri agar operasi pertambangannya untuk diaudit secara independen terhadap standar pertambangan global yang paling ketat di dunia, Harita Nickel menjadi contoh mengenai transparansi operasional pertambangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia,” kata Aimee seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
Adapun capaian perusahaan akan ditentukan dalam empat tingkat, yaitu IRMA Transparency, IRMA 50, IRMA 75, atau IRMA 100.
Director of Health, Safety and Environment Harita Nickel Tonny Gultom menuturkan, transparansi tersebut menunjukkan komitmen perusahaan terhadap praktik responsible mining.
“Inisiatif ini juga mendukung visi pemerintah Indonesia untuk sektor pertambangan yang transparan serta bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial,” ucapnya seperti diberitakan Kompas.com, Rabu.
Ia menambahkan, Harita Nickel juga mengadopsi standar lain seperti Responsible Minerals Assurance Process (RMAP) dari Responsible Minerals Initiative (RMI).
“Status kesesuaian yang diperoleh dari audit ini menegaskan bahwa sistem manajemen risiko Harita Nickel telah diterapkan sesuai dengan standar yang berlaku,” imbuh Tonny.
Baca juga: Harita Tambah Dua Entitas Baru demi Keberlanjutan dan Efisiensi
Sejak memulai operasi pada 2010, Harita Nickel telah mengembangkan fasilitas pertambangan dan pemrosesan terintegrasi, termasuk smelter nikel saprolit pada 2017, fasilitas high pressure acid leach (HPAL) untuk bijih limonit pada 2021, serta produksi nikel sulfat dan kobalt sulfat pada 2023.
Komitmen menjalani audit IRMA merupakan kelanjutan dari upaya memperkuat standar keberlanjutan dan sekaligus strategi untuk menembus pasar ekspor utama, seperti Amerika Serikat dan Eropa yang kini semakin ketat dalam menuntut pasokan mineral dari sumber yang bertanggung jawab.
“ESG kini jadi pertimbangan dalam keputusan berinvestasi,” ujar Community Affairs General Manager Harita Nickel Dindin Makinudin dalam diskusi Energy Editor Society bertajuk Uncovering ESG Transformation in Indonesia’s Nickel Mining Industry di Jakarta, Jumat (4/7/2025), seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (6/7/2025).
Secara terpisah, peneliti Senior The Prakarsa Setyo Budiantoro menjelaskan, pemenuhan standar keberlanjutan yang ketat seperti IRMA Standard membuka peluang bagi sektor ekstraksi nasional untuk menembus pasar Eropa dan Amerika Serikat, tidak lagi bergantung pada pasar China.
Baca juga: Harita Nickel Persilakan Organisasi Kehutanan Lakukan Kajian Sosial di Pulau Obi
“Kalau produk kita tidak sustainable, kita akan terinklusi dari pasar. Kita enggak bisa masuk. Jadi, ini tidak hanya soal etika, tapi juga soal daya saing,” ujarnya seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (7/5/2025).
Aimee pun menyatakan hal serupa. Keikutsertaan dalam audit IRMA menunjukkan komitmen perusahaan tambang terhadap responsible mining serta meningkatkan reputasi mereka di pasar mineral kritis global.
“Selain itu, juga mampu menarik investor yang berorientasi pada ESG,” jelasnya.
Senada, Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia Jalal menilai praktik bisnis berkelanjutan kini juga menjadi pertimbangan bagi investor dan lembaga keuangan untuk memberikan modal kepada perusahaan. Prinsip berkelanjutan juga turut menjaga lingkungan.
Baca juga: Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada Kuartal I 2024
“Kalau perusahaan memberikan manfaat sosial, lingkungan, dan lainnya, perusahaan itu akan cuan. Kalau cuan diperoleh dengan merusak lingkungan, dia tidak akan berkelanjutan,” ujarnya dikutip dari Kompas.id, Kamis (8/5/2025).
Pemerintah sendiri menegaskan bahwa arah kebijakan pertambangan Indonesia memang diarahkan menuju keberlanjutan.
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Hendra Gunawan menekankan bahwa konsep pertambangan hijau berbasis ESG adalah keniscayaan.
“UU dan peraturan pertambangan kita terus diarahkan untuk mendukung praktik pertambangan berkelanjutan,” kata Hendra diberitakan Kompas.com, Minggu (6/7/2025).
Baca juga: Harita Group Raup K3 Awards Kementerian Ketenagakerjaan
Hendra pun mengapresiasi langkah Harita Nickel mengikuti audit sukarela di IRMA sebagai inisiatif untuk mendukung praktik pertambangan berkelanjutan serta transisi energi hijau.
Keberhasilan Indonesia menjadi pemimpin rantai pasok mineral kritis dunia tidak hanya ditentukan oleh jumlah cadangan yang besar, tetapi juga oleh kesungguhan menerapkan prinsip responsible mining. Standar audit seperti IRMA bisa menjadi tolok ukur penting untuk memastikan transisi ini benar-benar berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya