JAKARTA, KOMPAS.com - Forest Watch Indonesia (FWI) mendesak pemerintah Jepang dan Korea Selatan menghentikan impor pelet kayu atau wood pellet dari Indonesia karena mempercepat kerusakan hutan.
Desakan ini disampaikan dalam aksi damai di depan kantor Kedutaan Besar Jepang dan Korea Selatan di Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
“Setop impor wood pellet dari Indonesia dan hentikan pengrusakan hutan di negara Indonesia,” kata Koordinator Aksi FWI, Tsabit Khairul Auni, dalam keterangannya.
Dia mencatat bahwa kedua negara itu gencar mengimpor pelet kayu dalam lima tahun terakhir dari Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk proyek transisi energi melalui biomassa. Hal tersebut dinilai memicu tekanan bagi hutan, memperparah deforestasi, degradasi hutan, hingga pelepasan emisi karbon dalam skala besar.
Baca juga: Deforestasi Dunia di Luar Kendali, Naik hingga 63 Persen
“Pemanfaatan wood pellet biomassa oleh Jepang dan Korea Selatan yang berasal dari Indonesia sudah keluar dari prinsip transisi energi berkeadilan,” ungkap dia.
Tsabit mengatakan, aksi yang digelar merupakan peringatan keras bagi kedua negara karena telah berkontribusi dalam perusakan hutan di Indonesia. Tercatat, lebih dari 40 juta hektare hutan alam terancam hilang oleh berbagai macam proyek.
Sementara itu, Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, menyatakan hasil investigasi menunjukkan lebih dari 80 persen impor wood pellet oleh dua negara tersebut berasal dari deforestasi hutan.
“Indonesia termasuk Jepang dan Korea Selatan harus mengeluarkan biomassa (wood pellet beserta turunan kayu olahan lainnya), dari strategi transisi energi dan agenda iklim. Praktiknya tidak adil, karena di negara-negara pengimpor emisinya dihitung nol atau mendekati nol," jelas Anggi.
"Sementara di negara produsen seperti Indonesia menjadi sumber emisi di sektor hutan dan penggunaan lahan karena berasal dari deforestasi,” imbuh dia.
Aksi serupa digelar di negara-negara lain yakni Eropa, Asia Timur, Amerika Latin, Oseania, dan Asia Pacific. Bertepatan dengan International Day of Action Biomass yang jatuh setiap tanggal 21 Oktober, organisasi-organisasi masyarakat sipil, Biomass Action Network (BAN), menyerukan hal yang sama.
Aksi tersebut merupakan bagian dari gerakan solidaritas global, di mana komunitas di berbagai negara menentang kebijakan pemanfaatan energi berbahan baku biomassa.
“Kampanye ini didukung oleh masyarakat global yang bersepakat menolak pembakaran biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan. Seruan global meminta agar cabut subsidi biomassa dan jalankan transisi energi yang berkeadilan,” ucap Satrio Manggala selaku anggota BAN,
Para aktivis lingkungan menyerukan tiga hal yang menjadi sorotan utama, yakni meminta pemerintah Jepang dan Korea Selatan untuk menghentikan impor wood pellet dari Indonesia yang merusak hutan dan melanggar prinsip berkeadilan. Selain itu, mencabut subsidi energi berbasis biomassa.
Kemudian mendesak Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Kehutanan segera mengeluarkan biomassa dari kerangka pengurangan emisi dan agenda transisi energi. Lalu menghentikan izin ekspor wood pellet yang bersumber dari hutan atau pulau-pulau kecil, dan memperkuat perlindungan terhadap hutan maupun masyarakat adat.
Baca juga: Pemberlakukan UU Deforestasi UE Ditunda Lagi, Gara-Gara Masalah Teknis
Mereka juga meminta publik internasional agar tidak terjebak pada narasi palsu bahwa biomassa kayu adalah energi hijau, serta mendukung transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Satrio menekankan, pemanfaatan wood pellet di Jepang dan Korea Selatan bukanlah solusi energi bersih.
“Kami menuntut agar kedua negara segera menghentikan praktik ini dan beralih pada energi terbarukan yang benar-benar bersih, meninggalkan batu bara dan tidak merusak ekosistem di belahan bumi mana pun,” papar dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya