KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com - "Kami sadar kalau dari jam kehidupan, kami melihat kegiatan kami (sebagai) perempuan dari bangun tidur sampai tidur lagi, ternyata lebih banyak daripada laki-laki," ujar Disri Prigitta, seorang warga Desa Kenanga, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kamis (23/10/2025).
Dimulai dari kesadaran akan peran krusialnya dalam rumah tangga, perempuan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) memahami arti pentingnya hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka. Disri khawatir kehilangan akses terhadap hutan dan peka dengan dampak krisis iklim.
Apalagi, hasil pemetaan Tropenbos Indonesia mengungkapkan bahwa hutan yang selama ini dianggap milik mereka masuk dalam wilayah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan tambang dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
"Kami menyadari, hutan yang kami anggap hutan kami, dari (warisan) dari nenek moyang kami, ternyata bukan milik kami secara hukum. Kami terancam hidupnya. Jadi, suatu saat orang yang memegang izin ini (HUG dan HTI) akan datang ke sini, mengambil hutan kami," tutur Disri.
Disri merupakan fasilitator pemberdayaan perempuan untuk Desa Kenanga usai mengikuti serangkaian pelatihan dari Tropenbos Indonesia di Pontianak.
Di tingkat kabupaten, Disri tergabung dalam Aliansi Perempuan Penggerak Perubahan yang baru dibentuk pada Juli 2025. Dia ikut memperjuangkan hak-hak perempuan atas hutan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Disiri meyakini, kesejahteraan perempuan berefek berganda bagi keluarga dan masyarakat setempat.
Baca juga: Tropenbos Libatkan Masyarakat untuk Redam Karhutla di Lanskap Pawan Kalbar
"Karena tadi itu, kalau perempuan sejahtera, keluarga sejahtera. Jadi, kalau perempuan susah, dampaknya itu ke keluarga dan ke masyarakat," ucapnya.
Perempuan di pedalaman Kalimantan menggantungkan hidup pada hutan. Mereka mencari sayur, rotan, dan bambu — bahan utama untuk membuat anyaman. Hasil anyaman dijual untuk menambah penghasilan keluarga.
Dewi Salma, warga Desa Kenanga, menjadi satu-satunya anak muda yang masih aktif menganyam. Namun kini, rotan dan bambu semakin sulit ditemukan.
“Awalnya hanya ingin mencoba, karena ketagihan melihat hasilnya yang bagus, jadi ingin tahu bagaimana caranya membuat model ini itu. Karena sering bikin (anyaman), terus tahu kalau ternyata di sini (Desa Kenanga) sudah enggak ada rotan, akhirnya ya sedih,” kata Salma.
Perjalanan ke hutan mencari bahan baku pun makin sulit akibat rusaknya jalan dan konversi lahan. Padahal, anyaman dengan motif khas memiliki makna budaya mendalam, termasuk sebagai wadah seserahan dalam upacara adat pernikahan.
Selain kelangkaan rotan, terputusnya regenerasi mengancam eksistensi perempuan menganyam di Desa Kenanga.
Padahal, produk anyaman dengan motif tertentu telah dilekatkan dengan makna budaya, yang salah satu contohnya dalam bentuk tas untuk wadah seserahan pernikahan dari pengantin laki-laki.
Perkakas dari mengayam rotan maupun bambu memiliki berbagai nama dalam bahasa lokal, yang bahkan dibedakan berdasarkan ukuran dan fungsinya. Kekayaan kosakata tersebut mencerminkan kedekatan masyarakat Dayak Simpakng dengan alam yang diwariskan turun temurun.
Salma kini membuat beragam produk seperti tas dan kotak tisu, dijual seharga Rp 100.000–Rp 500.000. Bahkan, hasil karyanya pernah dibawa ke Thailand.
“Saya bisa membuat motif yang hanya benar-benar saya saja yang bisa. Yang bahkan nenek enggak bisa,” tuturnya.
Di desa tetangga, Talia, warga Desa Mekar Raya, menghadapi tekanan dari ekspansi sawit yang semakin masif. Ia bahkan harus mencegah suaminya mengubah seluruh lahannya menjadi kebun sawit.
Baca juga: Tropenbos Kembangkan Agroforestri Karet dan Kopi Liberika di Kalbar
“Saya pikir mendingan awal-awalnya gini bertengkar (berselisih paham)... Gara-gara mau semuanya tanam sawit, karena saya nengok bibitnya sudah ada,” kata Talia.
Baginya, hutan dan ladang memiliki peran penting untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga, mulai dari pangan hingga energi.
“Kalau habis bedak, handbody, saya enggak masalah, tapi kalau sudah beras, air minum, kayu bakar di dapur enggak ada, mulai pening kepala saya mikir,” ujarnya.
Setelah beberapa tetangganya mengalihfungsikan lahannya menjadi kebun sawit, Talia harus mencari kayu bakar ke lokasi yang semakin jauh dari rumahnya.
Pohon-pohon karet di sekitar rumahnya sudah banyak ditebang dan diganti dengan sawit. Bahkan, beberapa orang di sekitar rumahnya sudah mengubah seluruh lahannya menjadi kebun sawit dan terpaksa meminjam tanah saudaranya untuk berladang, kemudian hasilnya dibagi.
Saat sawit berumur di atas lima tahun, tanaman pangan lain di sekitarnya sulit bertumbuh. Kanopi pohon sawit yang tumbuh membesar menghalangi sinar matahari menembus ke bawah dan akarnya meluas mengakibatkan tanaman dengan parakaran dangkal akan kalah saing.
Pondok milik keluarga Dewi Salma di tengah hutan yang sebenarnya merupakan Bawas atau ladang yang sudah ditinggalkan selama sekitar tiga tahun. Bawas tersebut terletak di Desa Kenanga, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.Apalagi, penanaman sawit membutuhkan penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara intensif, praktik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan petani di sana. Imbasnya, lahan bekas sawit tersebut berisiko mengalami kerusakan tanah, menurunkan kesuburan dan bahan organik di dalamnya.
"Kalau harga sawit jatuh, dia (orang-orang yang menanam semua lahannya dengan sawit) tuh enggak kemana-mana larinya. Palingan larinya ke buruh. Jadi, pikiran, tenaga habis di situ terkuras. (Atau, jika pohon-pohon karetnya tidak ditebang semua untuk dijadikan sawit), kalau ada (orang lain) yang menyadap dan nanti hasil getahnya dijual, bagi hasil. Lumayan, biar (pun) menumpang, masih bisa ada yang diharapkan," tutur Talia.
Alih fungsi seluruh lahan menjadi kebun sawit berpotensi mengakibatkan petani kesulitan memenuhi kebutuhan bahan makanan dan menghilangkan keanekaragaman tanaman pangan yang dikonsumsi sehari-hari.
Baca juga: Menembus Hutan Kalimantan, Perjalanan Mencari Asa di Sekolah Pedalaman
Ekspansi sawit dapat mengecilkan luasan lahan yang akan diperuntukkan untuk berladang, sehingga risiko kekurangan beras semakin tinggi, mengingat adanya kemungkinan serangan hama.
"Nanam sawit dapat duit, tapi beli beras, enggak masuk akal ya," ucapnya.
Peran perempuan dalam menjaga sumber daya alam di sekitarnya seringkali terpinggirkan, meski menjadi pihak yang paling merasakan dampak langsung dari perubahan lingkungan. Perempuan memiliki pengetahuan mendalam tentang kebutuhan sehari-hari keluarganya, seperti air dan pangan.
"Masyarakat di sini (Desa Mekar Raya) misalnya, perempuannya bisa mengakses (sumber daya alam), tetapi belum tentu bisa mengontrol. Mereka bisa mengambil sumber daya alam di situ, mengambil untuk (kebutuhan) nutrisi, mengambil untuk kebutuhan ritual, tetapi statusnya mereka tidak bisa mengontrol," ujar Koordinator Green Livehoods Alliance (GLA 2.0) Tropenbos Indonesia, Gusti Suganda.
Di sisi lain, perempuan justru kerap tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya alam. Mereka juga tidak memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan yang berdampak pada lingkungan sekitar mereka. Misalnya, saat lahan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, perempuan jarang dilibatkan dalam diskusi atau rapat yang membahas dampak perubahan tersebut.
"Dulu Salma itu dia hanya butuh ke belakang rumah untuk mengambil rotan. Sekarang dia harus dengan kendaraan bermotor, sampai 20 menit, berarti sekitar belasan kilo dia harus mengambil ke sana. Jadi, dengan sendirinya dia mikir, ngapain saya harus ke sana sejauh itu cuma untuk mengambil rotan, belum menganyamnya," tutur Gusti.
Kendati demikian, masih ada harapan. Misalnya, di Desa Kenanga sudah mulai ada keterwakilan perempuan dalam musyawarah di tingkat dusun dan kecamatan atau kegiatan masyarakat lainnya. Para perempuan yang berkumpul untuk mengayam juga sudah mulai menyuarakan pentingnya peran mereka dalam menjaga sumber daya alam di sekitarnya.
Baca juga: Industri Karet di Kalbar Bertahan dari Krisis Iklim dan Kepungan Sawit
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya