JAKARTA, KOMPAS.com – Bali menghadapi krisis persampahan yang semakin mengkhawatirkan. Dengan timbulan sampah mencapai 1,2 juta ton pada 2024, pengelolaan yang tidak memadai berisiko menimbulkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang serius. Sejumlah pihak menekankan bahwa pendekatan berbasis ekonomi sirkular harus menjadi solusi utama untuk mengatasi persoalan ini.
Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam rentang 2000-2024, volume sampah di Bali meningkat 30 persen. Peningkatan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan wisatawan, konsumsi plastik sekali pakai, serta lemahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah.
“Kenaikan timbulan sampah tidak dibarengi dengan kapasitas pengelolaan yang memadai. Infrastruktur persampahan yang terbatas membuat fasilitas yang ada tidak lagi mampu menampung volume sampah yang terus meningkat,” ujar Fabby melalui keterangan pers, Selasa (11/2/2025).
Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar dengan 360.000 ton sampah per tahun, di mana 68,32 persen di antaranya merupakan sampah organik seperti sisa makanan dan ranting kayu. Saat ini, TPA Suwung, sebagai tempat pembuangan utama, telah mengalami overkapasitas.
Baca juga: Cegah Darurat Sampah, Kabupaten Semarang Bakal Kembangkan Keripik Sampah sebagai Bahan Bakar
Fabby menekankan bahwa solusi pengelolaan sampah harus holistik, mulai dari penegakan hukum, pembangunan infrastruktur, hingga perubahan perilaku masyarakat. Salah satu strategi utama adalah mengurangi sampah dari sumbernya.
“Pengurangan sampah di sumber adalah pilihan paling ekonomis, mengingat biaya pengolahan sampah di Indonesia mencapai 100 dollar AS per ton,” jelasnya.
Fabby juga menyoroti perlunya dorongan bagi produsen untuk mengurangi kemasan plastik dan bagi konsumen untuk mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan. Meski teknologi waste-to-energy (WtE) tersedia, investasi ini dinilai mahal dan berisiko membebani anggaran pemerintah daerah.
Baca juga: Yogyakarta Darurat Sampah, Masjid Gedhe Kauman Sediakan Terpal untuk Alas Shalat Idul Adha
Menurut I Made Dwi Arbani, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Bali, paradigma pengelolaan sampah di Bali mulai bergeser dari sistem berbasis TPA menuju ekonomi sirkular yang berkelanjutan.
Dalam Peta Jalan Kerthi Ekonomi Bali 2045, target yang dicanangkan adalah 100 persen sampah terkelola. Upaya yang dilakukan mencakup:
“Pemerintah mendorong pembangunan fasilitas pengolahan sampah yang lebih dekat dengan masyarakat, sehingga pengelolaan dapat lebih efektif,” kata Dwi Arbani.
Baca juga: Fasilitas Air Siap Minum Jadi Tempat Sampah, Ini Kata MRT Jakarta
Catur Yudha Hariani, Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak.
“Peraturan yang memperjelas peran pemerintah, desa adat, masyarakat, dan sektor swasta sangat diperlukan. Selain itu, edukasi yang melibatkan komunitas, akademisi, serta LSM juga harus diperkuat,” ujar Catur.
Dalam jangka panjang, keberhasilan pengelolaan sampah di Bali akan sangat bergantung pada komitmen bersama, baik dari pemerintah, industri, maupun masyarakat. Dengan menerapkan ekonomi sirkular dan memperkuat kesadaran lingkungan, Bali dapat mengatasi krisis sampah dan mempertahankan reputasinya sebagai destinasi wisata berkelanjutan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang