INDONESIA bukan negara gagal. Namun, tanda-tanda bahwa republik ini tengah bergerak menuju kerentanan tak bisa diabaikan.
Gelombang demonstrasi yang meluas, meningkatnya respons represif aparat, memburuknya ketimpangan sosial, dan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi adalah sinyal awal dari kondisi yang disebut Rotberg sebagai “negara rentan” (fragile state).
Dalam Fragile States Index (FSI) 2024 yang disusun oleh Fund for Peace, Indonesia berada di peringkat 102 dari 179 negara dengan skor 63,7.
Posisi ini menempatkan Indonesia dalam kategori Warning atau negara rentan tingkat menengah. Artinya, secara global Indonesia dipandang masih relatif stabil, tetapi berpotensi memburuk bila tidak segera ditangani.
Tren kerentanan Indonesia dalam lima tahun terakhir memang menunjukkan arah yang membaik. Berdasarkan data resmi Fragile States Index (FSI) dari The Fund for Peace, skor Indonesia menurun dari 67,8 pada tahun 2020 menjadi 63,7 pada tahun 2024.
Penurunan sebesar 4,1 poin ini merupakan sinyal positif, karena dalam metodologi FSI, semakin rendah skor, semakin stabil dan resilien negara terhadap tekanan politik, ekonomi, dan sosial.
Baca juga: Mundurlah, Kita Sudah Terlalu Jauh
Penurunan skor secara konsisten selama lima tahun terakhir menunjukkan adanya perbaikan bertahap dalam tata kelola, ketahanan institusi, serta kapasitas negara dalam mengelola konflik dan ketimpangan.
Namun, penurunan skor FSI tidak boleh dilihat sebagai alasan untuk berpuas diri, melainkan kesempatan untuk memperkuat demokrasi, memulihkan kepercayaan publik, dan membenahi institusi agar Indonesia benar-benar keluar dari zona kerentanan menuju stabilitas berkelanjutan.
Skor 63,7 mengindikasikan bahwa kerentanan struktural belum sepenuhnya teratasi. Tantangan seperti penurunan legitimasi politik, ketimpangan sosial yang tajam, dan pelemahan supremasi hukum masih menjadi sorotan penting.
Dengan kata lain, meskipun secara angka Indonesia bergerak ke arah yang lebih stabil, substansi kerentanan masih ada dan harus ditangani secara serius dan sistemik.
Lima indikator utama yang menjadi penyumbang terbesar kerentanan Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama, legitimasi pemerintah menurun. Ini disebabkan beberapa hal seperti keputusan politik yang kontroversial, proses legislasi minim partisipasi, serta lemahnya transparansi. Eksesnya, rakyat tidak percaya kepada penyelenggara negara.
Kedua, pelanggaran HAM dan supremasi hukum masih mencolok. Penanganan demonstrasi dengan kekerasan, kriminalisasi aktivis, dan intervensi terhadap lembaga yudikatif merusak rasa keadilan publik.
Ketiga, ketidakpuasan rakyat semakin meluas karena kebijakan yang tidak sensitif kepentingan rakyat.
Protes masyarakat terhadap pajak yang semakin mencekik, sementara anggota Dewan mendapatkan kenaikan tunjangan adalah aspirasi rakyat yang valid. Banyak orang yang melihat negara tidak peka dan mengabaikan martabat rakyat.