
Keempat, ketimpangan ekonomi terus melebar. Pertumbuhan ekonomi nasional tidak diikuti dengan pemerataan kesejahteraan, sehingga jurang kaya-miskin dan pusat-daerah semakin dalam.
Baca juga: Meredam Gejolak Sosial
Data BPS menunjukkan bahwa 20 persen kelompok terkaya menguasai hampir separuh dari total pengeluaran nasional, sementara 20 persen kelompok termiskin hanya memiliki 18,41 persen (Kompas, 28 Januari 2025).
Kelima, pragmatisme politik yang dipertontonkan para politisi memperburuk kepercayaan rakyat terhadap penyelenggaraan negara.
Alih-alih merepresentasikan secara substantif kepentingan rakyat, elite politik justru terkesan memperjuangkan kepentingan diri atau partai politik yang sifatnya pragmatis.
RUU perampasan aset yang diharapkan publik bisa segera dilegislasi, hingga hari ini tidak jelas nasibnya.
Di tengah bayang-bayang kerentanan, Indonesia masih memiliki banyak kekuatan yang bisa menjadi modal perbaikan.
Sistem demokrasi masih berjalan, meskipun dengan banyak catatan. Masyarakat sipil dengan gerakan mahasiswa, kelompok advokasi, dan media independen yang terus kritis.
Kita juga punya- meminjam istilah Ulil Abshar-Abdala - ketahanan politik (Kompas, 28/9-2025).
Generasi muda menjadi aset demografis. Mereka penuh energi, inovasi, dan kepedulian terhadap isu lingkungan maupun keadilan sosial.
Keberagaman budaya yang dimiliki bangsa ini, jika dikelola secara adil, bisa menjadi perekat sosial. Ditambah lagi, cadangan sumber daya alam yang besar dapat menjadi modal strategis untuk memperkuat kemandirian bangsa.
Namun, kekuatan tersebut perlu diikuti dengan upaya koreksi mendasar penyelenggaran negara agar Indonesia tidak terus tergelincir lebih jauh dalam kategori negara rentan. Untuk itu, sedikitnya ada tiga langkah kunci yang perlu segera dijalankan.
Pertama, memulihkan legitimasi melalui keberpihakan nyata kepada rakyat. Anggaran negara perlu diarahkan lebih banyak untuk layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, transportasi publik, alih-alih hanya untuk megaproyek yang tidak merata manfaatnya.
Proses legislasi harus transparan, membuka ruang partisipasi publik yang bermakna. Keadilan fiskal juga penting diarahkan untuk memperbesar alokasi bagi daerah tertinggal dan kelompok miskin.
Baca juga: Menuntut Rasa Malu Pemimpin
Legitimasi dan kepercayaan akan tumbuh ketika rakyat benar-benar merasakan negara hadir untuk mereka.
Kedua, menghentikan kekerasan terhadap rakyat dan membangun ruang dialog. Demonstrasi dan kritik adalah bagian sah dari demokrasi, bukan ancaman.