GELOMBANG besar demonstrasi di Jakarta dan daerah lain di Indonesia pada akhir Agustus 2025, menjadi catatan penting mengenai demokratisasi sektor keamanan di Indonesia, khususnya Polri.
Aksi demonstrasi yang semula damai berakhir dengan bentrokan antara polisi dan massa.
Puncaknya, tragedi terlindasnya pengemudi ojek online oleh rantis Brimob Polri pada 28 Agustus 2025, menyulut emosi publik. Aksi protes seketika berubah menjadi ledakan anarkis tidak terkendali di Jakarta dan sejumlah daerah lainnya.
Setidaknya sudah 10 korban tewas sepanjang aksi demonstrasi. Mobil dan kantor pemerintahan dibakar, rumah dijarah, polisi dan demonstran sama-sama terluka.
Alih-alih meredam, Polri justru memperkuat pendekatan paramiliter—penempatan pasukan Brimob, gas air mata, hingga kendaraan taktis barracuda—membuat situasi justru makin tidak terkendali.
Oleh karena itu, mendiskusikan kembali peran Korps Brigade Mobil (Brimob) sebagai unit organisasi Polri, bukanlah wacana berlebihan, melainkan kebutuhan.
Baca juga: Negara Pun Mengajarkan Anarki
Pasalnya, Brimob merupakan wajah militerisasi dalam institusi Polri, yang tidak sejalan dengan visi reformasi Polri untuk menghadirkan wajah polisi sipil.
Demonstrasi dan kerusuhan Agustus 2025, memberi pesan jelas—bahwa kekerasan melahirkan kekerasan—maka revisi kelembagaan, termasuk menata ulang peran Brimob Polri, adalah langkah mendesak agar polisi tidak terus mengulang kesalahan yang sama.
Tindakan berlebihan anggota Brimob terhadap massa demonstrasi menambah daftar panjang wajah represif Brimob di ruang publik.
Lantas, bagaimanakah wajah Brimob Polri yang rawan berbenturan dengan prinsip polisi sipil yang menjadi agenda reformasi Polri?
Korps Brigade Mobil (Brimob) adalah satuan tertua dalam tubuh institusi Polri. Satuan Brimob sebagai bagian dari Polri, keberadaannya dapat ditelusuri dari sejarah pendudukan Jepang di Indonesia yang membentuk Tokubetsu Keisatsu Tai (TKT) pada tahun 1944.
TKT menjadi unit polisi khusus yang dibentuk pemerintah kolonial Jepang dengan struktur dan kultur semi-militer untuk menghadapi revolusi fisik, terutama setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942.
Dalam perkembangannya, terutama setelah kemerdekaan RI, TKT mengalami beberapa kali perubahan nama mulai dari Polisi Istimewa, Mobrig (Mobil Brigade) dan menjadi Brimob (Brigade Mobil) dilakukan pada 14 November 1961, oleh Presiden Soekarno.
Dilihat dari sejarahnya, satuan Brimob Polri sejak kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari fungsi paramiliter.
Dalam literatur studi kepolisian, polisi para militer adalah praktik ketika kepolisian sebagai institusi sipil (civilian police) menggunakan cara-cara militer dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Kraska, 2007).