Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof Raymond Tjandrawinata
Dosen dan Peneliti

Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan

KRIS dan Janji Ekuitas Layanan Kesehatan

Kompas.com - 06/09/2025, 09:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TINGKAT kepuasan publik terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kini berada pada posisi relatif tinggi.

Survei terbaru menunjukkan tujuh dari sepuluh peserta menyatakan puas terhadap layanan yang mereka terima.

Bahkan, hanya segelintir yang belum pernah memanfaatkan fasilitas kesehatan melalui kartu BPJS Kesehatan.

Angka ini menegaskan bahwa legitimasi sosial program JKN cukup kuat. Bagi masyarakat luas, JKN bukan sekadar program pemerintah, melainkan pelindung konkret, jaring pengaman ketika risiko kesehatan mengancam rumah tangga.

Kartu ini menjelma simbol solidaritas nasional: buruh, petani, pedagang, hingga pegawai, semua berada dalam satu sistem gotong royong yang sama.

Namun, di tengah apresiasi itu, publik dihadapkan pada wacana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang memicu diskusi sengit.

Tujuan KRIS sejatinya mulia: menstandarkan kualitas minimum ruang rawat inap sehingga setiap pasien, tanpa memandang kelas kepesertaan, tidak dirawat di bawah ambang mutu.

Baca juga: Kemiskinan Karakter di Tengah Agenda Kesejahteraan Sosial

 

Negara ingin memastikan tidak ada lagi warga yang harus berbaring di ruangan sempit tanpa privasi atau tanpa akses oksigen memadai.

Namun, gagasan ini justru menimbulkan tafsir beragam. Sebagian pejabat menyebut KRIS berarti penghapusan kelas menjadi satu standar tunggal.

Sebagian lain menegaskan kelas tetap ada, hanya saja setiap kelas wajib memenuhi dua belas kriteria dasar, seperti jarak antarbed, ketersediaan kamar mandi, hingga suhu ruangan yang stabil.

Ambiguitas inilah yang menimbulkan kebingungan publik. Peserta kelas tiga cenderung mendukung karena berharap mutu meningkat, sementara peserta kelas satu khawatir kehilangan kenyamanan yang selama ini dianggap haknya.

Masalah mendasar terletak pada makna “standar”. Dalam teori keadilan sosial, standar minimum adalah pagar bawah yang wajib dijaga negara, bukan seragam yang memaksa semua orang sama.

Standar minimum memastikan keselamatan, privasi, dan martabat dasar, tetapi tidak meniadakan ruang bagi pilihan tambahan.

Sayangnya, komunikasi publik gagal menjelaskan hal ini dengan gamblang. Alhasil, muncul persepsi bahwa KRIS akan menghapus diferensiasi, bukan memperbaiki mutu.

Padahal, di banyak negara, standardisasi pelayanan dasar justru menjadi kunci keberhasilan sistem jaminan kesehatan.

Inggris dengan National Health Service (NHS) menetapkan standar minimum perawatan, tetapi tetap memberi ruang pilihan layanan tambahan bagi mereka yang membayar lebih.

Thailand dengan Universal Coverage Scheme juga menjaga standar dasar, sehingga tidak ada warga miskin yang tertinggal.

Indonesia seharusnya belajar bahwa standar bukan ancaman, melainkan instrumen pemerataan.

Kesiapan infrastruktur menjadi tantangan lain. Tidak semua rumah sakit berada pada titik yang sama.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau