"Bicara Dermaga Haji Putri, kita pasti flashback duka. Belum kering kemarin, terjadi lagi. Kita berdosa besar karena membiarkan ini terus terjadi," ujar salah seorang peserta rapat.
Selain Dermaga Haji Putri, terungkap pula ada sekitar 30 dermaga lain di Nunukan yang statusnya ilegal. Bahkan, tidak ada satu pun speedboat penumpang rute Nunukan - Pulau Sebatik yang memiliki izin resmi.
Kekacauan regulasi dari pemerintah pusat yang kerap berubah-ubah juga dituding sebagai biang keladi.
"Saya katakan persetan dengan pemerintah pusat yang terus mengganti regulasi dan tak memperhatikan dinamika akar rumput. Mereka tidak melihat imbasnya di lapangan, dan lagi lagi kita di daerah yang menanggung dosa itu," kata Sadam dalam rapat.
Sebelum kericuhan terjadi, rapat diwarnai pro dan kontra mengenai solusi jangka pendek. Kubu yang kontra terhadap operasional dermaga, seperti Adama dan Donal, mendesak agar dermaga segera ditutup.
"Kenapa kita membiarkan Dermaga terus beroperasi. Apa nunggu ada korban lagi. Saya sarankan tutup saja dulu selagi proses legalisasi. Biar prosesnya cepat dan jadi trigger buat Pemda segera bekerja melegalisasi itu," usul Donal.
Namun, usulan tersebut dimentahkan oleh pimpinan rapat, Andi Muliyono. Menurutnya, penutupan dermaga berpotensi memicu konflik sosial baru dengan para pemilik speedboat.
"Dan lagi, tidak satupun speed boat Nunukan – Sebatik itu legal. Jadi itu hanya menambah persoalan baru," kata Andi.
Meski berakhir ricuh, rapat tersebut akhirnya menghasilkan keputusan. DPRD meminta Pemda Nunukan untuk segera menginventarisir jumlah speedboat ilegal dan memastikan status lahan untuk memperlancar proses legalisasi dermaga.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini