SEMARANG, KOMPAS.com – Ratusan siswa SMAN 11 Semarang kembali menggelar aksi unjuk rasa menuntut keadilan bagi korban kasus pelecehan seksual melalui editan video AI cabul yang dilakukan oleh Chiko Radityatama Agung Putra.
Aksi tersebut digelar di lingkungan sekolah, namun alumni dan awak media dilarang masuk oleh pihak sekolah pada Jumat (24/10/2025).
Para siswa mengecam sikap sekolah yang dinilai tidak transparan dan tidak serius menangani kasus tersebut.
Baca juga: Korban Video Editan AI di SMAN 11 Semarang Merasa Diabaikan, Ini Kata Sekolah
Mereka menilai pihak sekolah lepas tangan terhadap korban, terutama yang sudah berstatus alumni.
Padahal foto yang disunting oleh Chiko diambil saat korban masih bersekolah di SMAN 11 Semarang.
Albani Telanae, salah satu perwakilan siswa, mengungkapkan bahwa tidak ada tindak lanjut nyata dari pihak sekolah setelah mediasi tertutup pada Senin (20/10/2025) yang juga dihadiri oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jawa Tengah Emma Rachmawati, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jawa Tengah Syamsudin, serta Kabid Pembinaan SMA Disdikbud Jawa Tengah Kustrisaptono.
“Sampai saat ini memang dinas dan kepala sekolah tidak turut serta dalam pelaporan kasus dan bahkan tidak mendengarkan korban. Jadi, dinas dan kepala sekolah hanya memberikan ruang saja kepada korban untuk melapor tapi tidak ingin ikut campur atau turun langsung kepada para korban. Jadi korban takut melapor,” ungkap Albani saat diwawancarai dari pagar sekolah.
Meski pelaku kini berstatus mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), menurut Albani, kejahatannya dilakukan saat masih berstatus siswa SMAN 11 Semarang, sehingga kepala sekolah tetap perlu mempertanggungjawabkan peristiwa tersebut.
Para siswa juga mengecam tindakan sekolah yang meminta pengamanan polisi untuk membatasi akses media dan alumni ke dalam lingkungan sekolah.
Beberapa alumni dan korban yang ingin meminta klarifikasi kepada kepala sekolah juga tidak diizinkan masuk.
“Kenapa kok di sini tidak ada kebebasan pers dan kebebasan bersuara dari pihak teman-teman korban dan media? Padahal sebetulnya kita butuh kasus ini untuk di-up juga. Semua perlu tahu kalau kepala sekolah itu sebetulnya sangat membatasi kita dalam bergerak,” beber Albani.
Sebagai langkah lanjutan, para siswa mendorong korban untuk melapor secara kolektif ke polisi, dengan pendampingan dari pengacara Jucka Rajendhra Septeria Handhry, alumni SMAN 11 Semarang yang juga lulusan Fakultas Hukum Undip.
“(Korban yang masih siswa dan alumni) Lebih baik lapor bareng perkumpulan korban, itu mereka sudah mempunyai lembaga bantuan hukum sendiri yang tidak ada kaitannya dengan dinas dan kepala sekolah. Jangan ikut ke dinas ataupun kepala sekolah karena ya itu memang enggak jelas aja arahnya mau gimana,” lanjutnya.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, sejumlah alumni yang ingin masuk ke area sekolah dicegah oleh petugas keamanan, sementara awak media yang mencoba meminta izin kepada Kabid Pembinaan SMA Disdikbud Jateng Kustrisaptono juga tidak mendapatkan respons.
Sebelumnya, Kepala SMAN 11 Semarang Roro Tri Widiyastuti menegaskan bahwa tidak ada intervensi dari pihak keluarga pelaku—yang diketahui merupakan anggota kepolisian di wilayah Kabupaten dan Kota Semarang—serta menolak tudingan bahwa sekolah menutupi kasus ini.
“Tidak (diintervensi). (Secara pribadi juga tidak merasa diintervensi?) Tidak. Tidak ada menutup-nutupi. Kami juga terbuka, informasi kami gali terus dari guru. Termasuk berdialog dan berdiskusi masalah ini,” ujar Roro usai pertemuan tertutup di kantor Disdikbud Jawa Tengah, Kamis (23/10/2025).
Kasus ini terus menjadi perhatian publik karena melibatkan unsur kekerasan digital berbasis teknologi AI dan dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap privasi serta martabat korban, sebagian di antaranya masih berstatus pelajar.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang