KOMPAS.com – Konsep healing atau pemulihan diri sering kali dikaitkan dengan pemandangan alam yang menakjubkan atau tempat sepi dari hiruk pikuk perkotaan.
Namun, healing tidak diukur dari kemewahan tempat yang dikunjungi, melainkan dari kedalaman interaksi, pengalaman autentik, dan kemampuan mencapai kemandirian secara emosional.
Pengalaman tersebut bisa didapatkan di Mandalika. Kawasan wisata yang terletak di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini, dikenal sebagai magnet wisata bahari dengan garis pantainya yang memukau dan sirkuit internasional yang mendunia.
Di balik pesona alam dan ajang balapnya, Mandalika menyimpan konsep healing yang mendalam dengan memberikan kesempatan bagi para wisatawan untuk meresapi kehidupan sehari-hari melalui kearifan lokal masyarakat Suku Sasak.
Baca juga: Desa Sade Lombok, Desa Adat Suku Sasak yang Penuh Keunikan dan Tradisi
Suku Sasak merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau Lombok yang memiliki kekayaan seni dan budaya. Jantung budaya Suku Sasak terletak di Desa Sade dan Ende, dua wilayah yang masih menjaga warisan tradisi serta nilai-nilai adat nenek moyang.
Hingga kini, masyarakat Sade dan Ende masih melestarikan tradisi menenun yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Bagi perempuan Sasak, menenun bukan sekadar mata pencarian, melainkan keterampilan wajib yang menjadi indikator kedewasaan. Seorang gadis dianggap siap menikah apabila sudah mahir menenun.
Pasalnya, kain tenun memiliki makna mendalam bagi masyarakat Sasak. Selain menjadi pelindung tubuh, kain tenun juga mencerminkan nilai-nilai kehidupan, seperti kesabaran, ketekunan, pengorbanan, dan kesetiaan seorang perempuan.
Baca juga: Kunjungi Desa Sade, Gibran Borong Kain Tenun Buatan Warga
Di desa adat ini, pengunjung bisa membeli kain tenun asli buatan warga lokal sebagai suvenir sekaligus berkesempatan belajar menenun langsung dari para pengrajin lokal.
Aktivitas tersebut memberikan pengalaman healing yang menenangkan. Selayaknya meditasi, menenun membutuhkan fokus yang tinggi untuk memasukkan benang lusi (tegak) dan benang pakan (melintang) secara bergantian demi menghasilkan kain tenun yang indah.
Interaksi dengan ibu-ibu pengrajin lokal selama belajar menenun akan menjadi momen humanis yang berharga.
Kentalnya tradisi masyarakat Sade dan Ende juga terlihat dari bangunan rumahnya yang masih mempertahankan arsitektur tradisional. Warga setempat menyebutnya Bale, rumah tradisional beratap jerami, berdinding anyaman bambu, dan lantai tanah yang dilapisi kotoran kerbau.
Baca juga: Apa yang Kamu Ketahui tentang Rumah Adat? Ini Penjelasannya ....
Mereka membangun rumah secara gotong royong dengan berlandaskan ketentuan alam. Setiap Bale dibangun tanpa mengubah kontur tanah serta menggunakan bahan alami, seperti bambu, kayu, dan jerami.
Wisatawan diperbolehkan masuk dan melihat keunikan isi Bale yang ada di desa adat tersebut.
"Selain satu rumah penyimpanan pusaka, seluruh rumah yang ada di Desa Sade boleh dimasuki wisatawan untuk melihat keunikannya," ujar pramuwisata Dasa Sade, Erwin, dikutip dari laman indonesia.go.id, Kamis (23/10/2025).
Baca juga: Mengenal Belulut, Budaya Desa Sade yang Pel Lantai Pakai Kotoran Sapi