KOMPAS.com - Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022, menjadi lokasi terjadinya tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Sebanyak 135 orang penonton sepak bola yang menyaksikan laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya malam itu tewas dalam kepanikan yang timbul seusai polisi menembakkan gas air mata secara membabi-buta ke arah tribune penonton.
Tindakan polisi mengakibatkan massa berlarian ke arah pintu keluar untuk menyelamatkan diri. Mereka berdesak-desakkan, sebagian terinjak, dan banyak yang kesulitan bernafas.
Malam itu, Kanjuruhan menjelma petaka. Orang-orang terperangkap di antara gas air mata dan pintu stadion. Satu demi satu dari mereka kehilangan nyawa.
Tiga tahun setelah Tragedi Kanjuruhan, keluarga korban masih mencari keadilan. Mereka mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta Pusat pada Rabu (1/10/2025).
Di depan kantor Komnas HAM, mereka berdiri berjejer sambil memegang poster bergambar wajah-wajah korban, lengkap dengan nama dan keterangan meninggalnya.
Lutfi, seorang ibu yang keluarganya meninggal pada tragedi tersebut, menyampaikan kekecewaannya karena hingga saat ini suami dan anaknya belum mendapatkan keadilan.
"Saya ke sini mencari keadilan tetapi keadilannya di Indonesia ini. Maaf seribu maaf, melempem dan bobrok. Saya kehilangan suami dan kedua anak saya. Di mana keadilan ini?" ucap Lutfi, seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (1/10/2025).
Lutfi mengatakan, suami dan anaknya berangkat menonton pertandingan sepak bola dengan membawa harapan, tetapi justru kehilangan nyawa di Kanjuruhan.
“Suami dan anak saya melihat sepak bola membawa harapan, tetapi mereka membunuh anak saya dan suami saya. Apa mereka tidak punya hati?” tutur dia.
Dalam audiensi dengan Komnas HAM, keluarga korban menuntut agar Tragedi Kanjuruhan ditetapkan sebagai pelanggaran HAM Berat dan dilakukan penyelidikan pro yustisia.
“Tentu langkah yang akan kita lakukan tetap mendorong Komnas HAM agar menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat dan melakukan proses penyelidikan pro yustisia,” kata Dermawan, pendamping hukum keluarga korban Kanjuruhan.
Sementara itu, Vebrina Monicha dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti lambannya penanganan kasus oleh aparat kepolisian maupun Komnas HAM.
Menurut Vebrina, laporan keluarga korban Kanjuruhan sejak 2023 hingga sekarang tidak pernah teregistrasi secara resmi.
“Bagaimana bisa dibilang Kanjuruhan sudah menemukan keadilannya, ketika laporan pengaduan masyarakat saja tidak teregistrasi sampai sekarang?,” ujar Vebrina.