KOMPAS.com – Budaya menyontek yang masih marak terjadi di sekolah dan perguruan tinggi tidak hanya menjadi masalah integritas akademik, tetapi juga mencerminkan persoalan yang lebih mendalam terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Koordinator Nasional Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyatakan bahwa kebiasaan menyontek yang terus berlanjut di dunia pendidikan Indonesia berisiko menjadikan institusi pendidikan sebagai inkubator praktik korupsi di masa depan.
Menurut Ubaid, Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan menunjukkan tingginya praktik menyontek serta plagiarisme di sekolah bukan sekadar angka statistik, melainkan mencerminkan sebuah sistem pendidikan yang sedang tidak baik-baik saja.
“Lebih menyedihkan lagi, temuan KPK ini menunjukkan, bahwa praktik koruptif sangat subur di sekolah dan kampus, mulai dari kebohongan dan ketidakdisiplinan akademik, gratifikasi, konflik kepentingan dalam pengadaan barang jasa, penyelewengan dana BOS, nepotisme, serta pungli di luar biaya resmi,” kata Ubaid kepada Kompas.com, Jumat (25/04/25).
Baca juga: Mengapa Siswa Sering Menyontek Saat di Sekolah?
Berdasarkan pantauan Kompas.com, kasus menyontek masih ditemukan di hampir seluruh kampus dan sebagian besar sekolah.
"78 persen sekolah dan 98 persen kampus masih ditemukan kasus menyontek," kata Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana dalam acara peluncuran SPI Pendidikan di Gedung C1 KPK, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Dalam survei yang sama, KPK menemukan ketidakdisiplinan akademik bagi guru/dosen. Hasil survei menunjukkan bahwa 69 persen siswa mengatakan masih ada guru yang terlambat hadir ke sekolah, dan 96 persen mahasiswa menyatakan masih ada dosen yang terlambat ke kampus.
Secara keseluruhan, skor SPI Pendidikan 2024 berada di angka 69,50.
Baca juga: Banyak Siswa Di Sekolah Masih Suka Menyontek, Ini Kata Mendikdasmen
Ubaid menyoroti, salah satu penyakit akut yang “menggerogoti” kualitas pendidikan Indonesia, tidak lain, tidak bukan, bersumber dari praktik korupsi di sekolah dan kampus itu sendiri.
“Karena itu, jika dibiarkan, maka penurunan ini tidak hanya mencerminkan merosotnya kualitas pendidikan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan bisa saja menjadi inkubator korupsi di masa depan,” tegasnya.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan bahwa kebiasaan menyontek para siswa bisa diselesaikan dengan perubahan pendekatan belajar dengan metode deep learning yang menekankan pada proses penemuan makna (meaning) dalam setiap materi pelajaran siswa sehingga pada gilirannya dapat menjadi perilaku (behaving) atau melakukan apa yang dipelajari.
Baca juga: Banyak Siswa Menyontek, Mendikdasmen Bakal Ubah Orientasi Pendidikan
Namun, menurut Ubaid, pendekatan tersebut tidak akan berjalan efektif dan hanya akan memiliki hasil yang tidak signifikan, sama dengan pendekatan-pendekatan yang sudah digagas menteri sebelumnya.
“Sebab, menurut saya, penurunan skor integritas pendidikan bukanlah fenomena tiba-tiba, dan bukan karena salah pendekatan dalam pembelajaran, tapi lebih dikarenakan lingkungan dan ekosistem yang sudah sangat koruptif di lembaga pendidikan kita dan yang terkait,” jelas Ubaid.