Stephanie menjelaskan bahwa banyak anak muda enggan terjun ke bidang STEM karena menganggapnya terlalu kompleks dan membutuhkan peralatan yang canggih. Padahal, menurutnya, elemen STEM bisa ditemukan dan relevan dalam kehidupan sehari-hari.
“Kadang-kadang orang takut masuk STEM karena kelihatannya susah dan teknologinya canggih banget. Tapi kalau kita lihat lebih dekat, STEM itu ada di mana-mana, di sekitar kita, dari sains, teknologi, rekayasa, sampai matematika,” tambahnya.
Untuk itu, Riady Foundation berkomitmen menanamkan rasa ingin tahu terhadap STEM sejak dini, mulai dari tingkat sekolah dasar. Tujuannya adalah agar siswa bisa punya paradigma yang benar untuk mengembangkan minat, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi tantangan di era kecerdasan buatan.
“Kita juga ingin mendukung sekolah-sekolah untuk memberikan pendidikan STEM yang bisa mengembangkan minat-minat yang sudah ada,“ kata dia.
Salah satu hal yang mencolok dari program STEM Indonesia Cerdas adalah keterlibatan banyak kementerian, tidak hanya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, tetapi juga Kementerian Agama dan Kementerian Kebudayaan.
Menurut Direktur STEM Indonesia Cerdas Dorita Setiawan pendekatan lintas kementerian ini bukan tanpa alasan. Justru karena tantangan terbesar dalam menyebarluaskan pendidikan STEM adalah ketimpangan akses, dibutuhkan kolaborasi lintas kementerian.
Selama ini, satu kementerian kerap enggan terlibat jika program tersebut berada di luar lingkup kewenangannya. Akibatnya, pendekatan pendidikan sering terkotak-kotak.
“Jadi kemarin itu saat peluncuran, kita merangkul kementerian, tidak hanya Dikdasmen, tapi juga Kemenag. Kenapa Kemenag? Karena aksesnya ada di sana. Dikdasmen kalau sudah ada bahasanya madrasah, mereka rasa itu bukan porsi kami, mereka enggan ikut,” jelasnya.
STEM, misalnya, masih kerap dianggap hanya relevan untuk sekolah-sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Padahal, ada banyak sekolah di bawah naungan Kementerian Agama, seperti madrasah dan pesantren yang tidak tersentuh oleh program-program sains dan teknologi.
“Selama ini yang termarginalkan adalah madrasah dan pesantren,” katanya.
Selain Kemenag, Kementerian Kebudayaan juga turut dilibatkan. Pasalnya, menurut Dorita, STEM juga harus dikontekstualisasikan agar inklusif dan membumi.
“Bahasa STEM itu kan sering kali bahasa Inggris. Jadi, bagaimana caranya supaya kita bisa mengontekstualisasikan STEM itu? Misalnya dengan mengaitkan sains dan teknologi dengan warisan budaya seperti candi dan lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan yang inklusif penting agar tidak ada kelompok yang tertinggal dalam revolusi teknologi. Karena itu, program STEM Indonesia Cerdas tidak hanya berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, tetapi juga dengan Kementerian Agama dan bahkan Kementerian Kebudayaan.
Baca juga: 15 Sekolah Terbaik di Jakarta, Mayoritas Sekolah Negeri
Dorita mengatakan, dari peluncuran sampai Desember 2025, tujuan utamanya adalah meningkatkan kesadaran dan melakukan pengenalan secara umum terhadap pendidikan STEM.
Saat peluncuran program STEM Indonesia Cerdas, sekitar 40 sekolah telah ikut serta, tetapi sejauh ini sudah teridentifikasi sekitar 500 sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia dan akan mengikuti program ini.