Hal senada diungkapkan Dosen Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Diponegoro, Lydia Christiani. Mengutip Blasius Sudarsono, dia menyebut seorang pustakawan harus memiliki kemampuan (hard skill) dan kemauan (soft skill) yang seimbang.
Ketimpangan di antara keduanya sering kali menyebabkan hilangnya jiwa dalam praktik kepustakawanan yang diibaratkan seperti pustakawan zombi.
Lydia mengajak untuk merefleksikan makna dari istilah kepustakawanan yang selama ini cenderung dimaknai sebagai aktivitas teknis pustakawan.
Padahal, imbuhnya, akhiran "-ship" dalam bahasa Inggris, seperti pada librarianship, mengandung dimensi kualitas, status, keterampilan, dan kebersamaan. Selama ini, hal tersebut luput dari perhatian praktisi.
“Pustakawan tidak hanya bekerja dengan katalog dan sistem digital. Mereka adalah fasilitator informasi dan penjaga nalar publik,” tegas Lydia.
Sementara itu, Dosen Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Rusdan Kamil, mengulas buku Cerita tentang Pustakawan dan Kepustakawanan (CPTK) karya Blasius Sudarsono.
"Buku ini bisa menjadi bahan renungan bagi generasi muda, khususnya generasi Z yang sedang meniti awal karier di dunia perpustakaan," ujarnya.
“Banyak pustakawan muda bertanya: apakah profesi ini dapat menghidupi saya hingga tua? Apakah saya akan tetap di sini sepuluh tahun ke depan?” lanjutnya.
Baca juga: 20 Provinsi dengan Tingkat Literasi Tertinggi 2024, Tertinggi Bukan Jakarta
Dia menyebut, karya Blasius Sudarsono merupakan bacaan wajib bagi pustakawan muda yang ingin memahami makna profesinya secara lebih mendalam.
“CPTK bukan hanya cerita. Ia adalah ajakan untuk merenung, bertanya, dan membangun komitmen pribadi terhadap profesi ini,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang