TANGGAL 23 April diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Di berbagai tempat, kita menyaksikan unggahan media sosial bertagar #WorldBookDay, diskon buku di toko daring, hingga webinar bertema cinta membaca.
Namun, di balik euforia tahunan ini, ada keheningan yang menyayat. Di tengah perayaan simbolik ini, kita justru bertanya-tanya: apakah buku benar-benar hidup dalam keseharian masyarakat kita? Apakah literasi telah menjadi budaya mengakar?
Pertanyaan itu bukan sekadar retoris. Ia adalah cermin dari kenyataan pahit yang terus berulang.
Survei Programme for International Student Assessment (PISA) oleh OECD menunjukkan bahwa kemampuan literasi membaca siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara-negara anggota.
Bahkan, dalam laporan terakhir, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara yang disurvei. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah gambaran masa depan yang mengkhawatirkan.
Baca juga: Membangun Sekolah Negeri, Menata Sekolah Swasta
Literasi yang rendah bukan sekadar soal minat membaca yang lesu, melainkan soal ketidakmampuan memahami, menganalisis, dan mengambil keputusan dari informasi yang tersedia.
Akibatnya, kita menyaksikan ironi mencolok: jutaan sarjana lulus setiap tahun, tetapi angka pengangguran tetap tinggi.
Bukan karena mereka malas atau bodoh, tetapi karena sistem pendidikan yang belum mampu membentuk manusia yang literat secara utuh. Sarjana banyak, tapi pengangguran terdidik lebih banyak.
Padahal kita tengah mengusung mimpi besar: Generasi Emas 2045, ketika Indonesia genap berusia satu abad.
Kita bermimpi bahwa pada saat itu, Indonesia akan menjadi negara maju, pemimpin di Asia, bahkan kekuatan ekonomi dunia. Namun, mungkinkah mimpi itu tercapai bila literasi terus terpuruk?
Negara-negara maju yang kita kagumi hari ini, tidak lepas dari budaya literasi yang kuat. Finlandia, misalnya, sejak awal telah menanamkan cinta membaca dalam sistem pendidikannya.
Anak-anak di sana tidak dituntut membaca sejak usia dini, tetapi dikelilingi oleh buku dan didorong oleh guru-guru yang memahami psikologi belajar.
Hasilnya? Anak-anak Finlandia tumbuh sebagai pembaca kritis dan kreatif. Tak heran negara ini konsisten berada di jajaran atas peringkat PISA.
Baca juga: Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional
Atau Korea Selatan, negara yang pernah porak-poranda oleh perang, tetapi bangkit menjadi kekuatan ekonomi berkat investasi besar-besaran dalam pendidikan dan literasi.
Pemerintahnya bahkan menetapkan book-reading campaigns nasional dan mendanai ribuan perpustakaan komunitas.