BEBERAPA dekade lalu, pendidikan tinggi di Indonesia adalah lambang harapan. Ia adalah tangga sosial yang dijanjikan negara kepada rakyatnya. Siapa pun yang rajin belajar dan tekun menuntut ilmu, suatu hari bisa memperbaiki nasibnya. Kampus adalah ruang terbuka bagi siapa saja yang berani bermimpi, bukan hanya bagi mereka yang mampu membayar.
Kini, janji itu mulai retak. Pendidikan, yang dahulu dimaknai sebagai jalan menuju kesetaraan, perlahan berubah menjadi simbol ketimpangan baru. Biaya kuliah meningkat, uang pangkal membengkak, dan universitas berubah wajah menjadi institusi semi-komersial.
Para mahasiswa yang lahir di keluarga biasa-biasa saja kini menghadapi pilihan yang getir, melanjutkan pendidikan dengan utang dan beban ekonomi yang berat atau menyerah dan masuk ke pasar kerja yang tidak ramah.
Sementara itu, negara terus membanggakan dirinya “kami telah mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan, sesuai amanat konstitusi.” Sebuah klaim yang benar secara hukum, tetapi kosong secara moral.
Baca juga: Biaya Kuliah 6 Jurusan Hukum Terbaik Indonesia, UKT Undip Termurah
Di atas kertas, 20% APBN untuk pendidikan adalah angka yang besar, sekitar Rp 660 triliun pada tahun 2025. Namun, seperti banyak hal dalam birokrasi, angka itu menipu. Sebagian besar dialokasikan untuk pendidikan dasar dan menengah, sebagian kecil untuk riset dan pelatihan, dan hanya sekitar Rp 130 triliun yang benar-benar menyentuh pendidikan tinggi.
Jika kita hitung kasar, dengan 8,5 juta mahasiswa aktif dan kebutuhan rata-rata Rp 15 juta per tahun per mahasiswa, biaya kuliah nasional hanya sekitar Rp 127,5 triliun per tahun. Artinya, secara matematis Indonesia sebenarnya mampu memberikan pendidikan tinggi gratis untuk seluruh mahasiswa setidaknya di atas kertas.
Namun dalam praktiknya, uang itu tidak pernah cukup. Ia tersedot oleh biaya birokrasi, pembangunan fisik, tunjangan pegawai, dan program-program simbolik yang sering kali lebih politis daripada substantif. Sebagian besar universitas, terutama yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), harus mencari sumber pendapatan mandiri. Maka hadirlah mekanisme baru: uang kuliah tunggal (UKT), uang pangkal, program internasional, kerja sama industri, dan proyek riset berbayar.
Negara dalam hal ini, seolah berkata kepada universitas “Kami sudah memberikan sebagian dana. Sisanya, carilah sendiri.” Universitas pun patuh, karena tak punya pilihan. Tetapi dalam ketaatan itulah, mereka secara perlahan berubah dari institusi publik menjadi korporasi pengetahuan.
Baca juga: Biaya Kuliah di 3 Universitas Terbaik Asia Tenggara, Ada NUS, NTU dan Universiti Malaya
Privatisasi pendidikan tinggi di Indonesia tidak datang dengan pengumuman besar atau keputusan politis yang eksplisit. Ia datang pelan-pelan, senyap, dan tampak masuk akal. Kita menyebutnya “otonomi kampus”, “efisiensi anggaran”, atau “kemandirian finansial”. Kata-kata yang indah, tetapi menyembunyikan konsekuensi yang keras. Dengan status PTN-BH, kampus diberi kebebasan mengatur keuangannya, termasuk menentukan besaran biaya kuliah.
Pemerintah menganggapnya sebagai langkah modernisasi, agar kampus bisa bersaing secara global. Tetapi di balik narasi globalisasi dan daya saing itu terjadi pergeseran ideologis besar. pendidikan yang dulu dianggap hak publik kini diubah menjadi layanan ekonomi.
Mahasiswa bukan lagi warga negara yang harus dilayani, tetapi pelanggan yang harus membayar. Kampus bukan lagi lembaga sosial, tetapi entitas bisnis yang harus mencari profit demi kelangsungan hidupnya. Dan dosen yang dahulu guru bangsa, kini perlahan bergeser menjadi pekerja akademik yang dinilai dari produktivitas dan efisiensi.
Inilah bentuk privatisasi yang paling halus dan paling berbahaya. Ia tidak menjual universitas ke tangan swasta, tetapi menjual jiwa publiknya ke dalam logika pasar.
Baca juga: Seleksi Masuk PTN 2026, Cek Biaya kuliah Kedokteran UI, Unair, dan Unhas
Kapitalisme memiliki kekuatan luar biasa. Ia bisa mengubah apa pun menjadi komoditas bahkan sesuatu yang seharusnya sakral seperti ilmu pengetahuan. Universitas, yang dulu adalah tempat perenungan dan pencarian makna, kini menjadi arena produksi nilai tambah ekonomi. Fakultas dan jurusan dinilai bukan dari kontribusinya terhadap kemanusiaan, tetapi dari seberapa besar peluang lulusannya menghasilkan uang.
Ilmu sosial dianggap “tidak produktif”, sementara teknologi dan bisnis dianggap “investasi masa depan”. Kampus berubah menjadi pabrik yang memproduksi tenaga kerja bersertifikat, bukan manusia berpengetahuan. Kurikulum diatur sesuai kebutuhan pasar, bukan kebutuhan bangsa. Riset diarahkan untuk mendukung industri, bukan untuk mengkritik sistem. Dan mahasiswa, yang dulu diajak berpikir, kini diajak berkompetisi tanpa henti, demi mengejar indeks prestasi, sertifikat, dan peluang kerja.
Paradoksnya, semakin banyak orang kuliah, semakin banyak pula yang kehilangan makna sejati dari pendidikan. Kita mencetak jutaan lulusan setiap tahun, tetapi berapa banyak yang benar-benar memahami realitas sosial bangsanya? Berapa banyak yang mampu mempertanyakan, bukan hanya menjawab?